Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dituntut 18 Tahun Penjara, Nur Alam Sebut Dirinya Bukan Penjajah

Kompas.com - 15/03/2018, 19:14 WIB
Abba Gabrillin,
Inggried Dwi Wedhaswary

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Gubernur nonaktif Sulawesi Tenggara Nur Alam keberatan dengan tuntutan 18 tahun penjara yang disampaikan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Nur Alam merasa dirinya telah mengabdi kepada rakyat.

Politisi Partai Amanat Nasional itu tak terima disamakan seperti penjajah yang menyengsarakan rakyat.

Hal itu disampaikan Nur Alam saat membacakan nota pembelaan atau pleidoi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (15/3/2018).

"Saya bukan orang Belanda dan Jepang yang dalam sejarah menjajah negeri kita, menyiksa orangtua. Saya anak bangsa yang sudah memberikan kontribusi," kata Nur Alam saat membacakan pleidoi.

Baca juga : Kepemilikan BMW Nur Alam Terlacak dari Nama Anak dan Nomor Kendaraan

Nur Alam membandingkan perkaranya dengan kasus-kasus korupsi lainnya. Ia merasa heran, mengapa tuntutan jaksa jauh lebih berat dari terdakwa lainnya.

Nur Alam membantah telah merugikan keuangan negara. Dia justru mengklaim bahwa perbuatannya telah menguntungkan negara melalui pajak pertambangan.

Selain itu, Nur Alam juga membantah mendapat keuntungan dari izin tambang yang ia keluarkan selama menjabat gubernur. Ia merasa tindakannya telah sesuai dengan aturan perundang-undangan.

"Apakah saya merongrong stabilitas nasional? Apakah saya menjadi rivalitas politik nasional? Atau apakah saya bandar besar narkoba yang menghancurkan masa depan generasi muda?" kata Nur Alam.

Nur Alam dituntut 18 tahun penjara dan membayar denda Rp 1 miliar subsider 1 tahun kurungan.

Baca juga : Kerusakan Lingkungan dan Tuntutan 18 Tahun Penjara terhadap Nur Alam

Menurut jaksa, Nur Alam melakukan perbuatan melawan hukum dalam memberikan Persetujuan Pencadangan Wilayah Pertambangan, Persetujuan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi.

Kemudian, Persetujuan Peningkatan IUP Eksplorasi menjadi IUP Operasi  Produksi kepada PT Anugerah Harisma Barakah (AHB).

Nur Alam dinilai merugikan negara sebesar Rp 4,3 triliun. Perbuatannya telah memperkaya diri sendiri, orang lain, dan korporasi dalam jabatannya sebagai Gubernur.

Menurut jaksa, perbuatan melawan hukum tersebut telah memperkaya dirinya sebesar Rp 2,7 miliar. Kemudian, memperkaya korporasi, yakni PT Billy Indonesia sebesar Rp 1,5 miliar.

Perbuatan Nur Alam dinilai telah mengakibatkan kerugian negara yang berasal dari musnahnya atau berkurangnya ekologis/lingkungan pada lokasi tambang di Pulau Kabena yang dikelola PT AHB.

Baca juga : Gubernur Sultra Nur Alam Dituntut 18 Tahun Penjara

Sesuai perhitungan, kerugian terkait kerusakan tanah dan lingkungan akibat pertambangan PT AHB di Kabupaten Buton dan Bombana, sebesar Rp 2,7 triliun.

Jumlah tersebut dihitung oleh ahli kerusakan tanah dan lingkungan hidup, Basuki Wasis.

Selain itu, Nur Alam dinilai terbukti menerima gratifikasi Rp 40,2 miliar dari Richcorp International Ltd.

Menurut jaksa, uang dari Richcorp itu ada kaitan dengan perizinan yang dikeluarkan terhadap PT AHB.

Adapun, hasil penjualan nikel oleh PT AHB dijual pada Richcorp International. Menurut jaksa, karena bukan dari sumber yang sah, maka uang tersebut harus dianggap sebagai suap.

Kompas TV Sidang lanjutan terdakwa korupsi Gubernur non aktif Sulawesi Tenggara Nur Alam kembali digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Soal Jokowi dan PDI-P, Joman: Jangan karena Beda Pilihan, lalu Dianggap Berkhianat

Soal Jokowi dan PDI-P, Joman: Jangan karena Beda Pilihan, lalu Dianggap Berkhianat

Nasional
Surya Paloh Buka Peluang Nasdem Usung Anies pada Pilkada DKI

Surya Paloh Buka Peluang Nasdem Usung Anies pada Pilkada DKI

Nasional
Dukung Prabowo-Gibran, Surya Paloh Sebut Nasdem Belum Dapat Tawaran Menteri

Dukung Prabowo-Gibran, Surya Paloh Sebut Nasdem Belum Dapat Tawaran Menteri

Nasional
PKS: Pak Anies Sudah Jadi Tokoh Nasional, Kasih Kesempatan Beliau Mengantarkan Kader Kami Jadi Gubernur DKI

PKS: Pak Anies Sudah Jadi Tokoh Nasional, Kasih Kesempatan Beliau Mengantarkan Kader Kami Jadi Gubernur DKI

Nasional
Soal Bertemu Prabowo, Sekjen PKS: Tunggu Saja, Nanti Juga Kebagian

Soal Bertemu Prabowo, Sekjen PKS: Tunggu Saja, Nanti Juga Kebagian

Nasional
Prabowo Absen dalam Acara Halalbihalal PKS

Prabowo Absen dalam Acara Halalbihalal PKS

Nasional
Joman: Jokowi Dukung Prabowo karena Ingin Penuhi Perjanjian Batu Tulis yang Tak Dibayar Megawati

Joman: Jokowi Dukung Prabowo karena Ingin Penuhi Perjanjian Batu Tulis yang Tak Dibayar Megawati

Nasional
Langkah Mahfud Membersamai Masyarakat Sipil

Langkah Mahfud Membersamai Masyarakat Sipil

Nasional
5 Smelter Terkait Kasus Korupsi Timah yang Disita Kejagung Akan Tetap Beroperasi

5 Smelter Terkait Kasus Korupsi Timah yang Disita Kejagung Akan Tetap Beroperasi

Nasional
Deretan Mobil Mewah yang Disita dalam Kasus Korupsi Timah, 7 di Antaranya Milik Harvey Moeis

Deretan Mobil Mewah yang Disita dalam Kasus Korupsi Timah, 7 di Antaranya Milik Harvey Moeis

Nasional
[POPULER NASIONAL] PKS Sebut Surya Paloh Main Cantik di Politik | Ganjar-Mahfud Dapat Tugas Baru dari Megawati

[POPULER NASIONAL] PKS Sebut Surya Paloh Main Cantik di Politik | Ganjar-Mahfud Dapat Tugas Baru dari Megawati

Nasional
Tanggal 29 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 29 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

Nasional
Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

Nasional
Masuk Bursa Gubernur DKI, Risma Mengaku Takut dan Tak Punya Uang

Masuk Bursa Gubernur DKI, Risma Mengaku Takut dan Tak Punya Uang

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com