JAKARTA, KOMPAS.com - Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) menilai gugatan UU MD3 tidak bisa dilanjutkan jika produk hukum tersebut tidak memiliki nomor sampai 21 Maret 2017. Tanggal tersebut merupakan batas waktu 14 hari yang diberikan MK kepada para pemohon uji marteri UU MD3 memperbaiki dokumen gugatannya pasca sidang perdana hari ini.
"Bahwa ini (UU MD3) tidak ada nomornya dan jangka waktu itu lewat, ya itulah nasib buruk," ujar Hakim MK I Gede Palguna di dalam Ruang Sidang MK, Jakarta, Kamis (8/3/20).
Hakim MK lainnya Suhartoyo mengatakan, majelis hakim hanya diberikan waktu 14 hari agar para pemohon melakukan perbaikan dokumen gugatannya.
Namun, bila sampai batas waktu tersebut pemohon tidak melakukan perbaikan, salah satunya terkait penomoran UU MD3, maka gugatan tidak bisa dilanjutkan karena objek perkaranya tidak jelas.
Baca juga : Sidang Perdana, Hakim MK Persoalkan UU MD3 yang Tak Bernomor
Hingga saat ini, UU MD3 memang belum diberi nomor oleh pemerintah pasca disahkan di DPR. Namun, undang-undang ini sudah digugut ke MK oleh beberapa pihak.
MK, kata dia, sempat membatalkan gugatan UU Ormas beberapa waktu lalu karena memiliki persoalan yang sama dengan UU MD3 saat ini.
Namun, meski gugatan tidak bisa dilanjutkan, bukan berarti menutup pintu masyarakat untuk menggugat UU MD3.
"Tetapi (setelah) nomornya sudah keluar, ada lagi yang mengajukan gugatan. Jadi hak warga negara tidak terhalangi, tetapi kami tidak boleh langgar hukum acara," kata I Gede Palguna.
Baca juga : Jokowi Pertimbangkan Keluarkan Perppu untuk Batalkan Pasal Kontroverial di UU MD3
Dalam sidang perdana uji materi UU MD3, majelis hakim meminta para pemohon memperbaiki permohonan gugatan dilayangkan ke MK hingga 14 hari ke depan. Salah hal yang perlu diperbaiki yakni pencantuman nomor UU MD3.
Hingga hari ini, UU tersebut belum ditandatangi oleh Presiden Jokowi.
Meski begitu berdasarkan ketentuan, UU tersebut tetap bisa berlaku , setelah 30 hari pasca disahkan DPR, meski tidak ditandatangi oleh Presiden.
Adapun permohonan perkara diajukan oleh Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK), Partai Solidaritas Indonesia (PSI), dan dua perserorangan warga negara Indonesia.