JAKARTA, KOMPAS.com - Sejumlah calon kepala daerah yang akan mengikuti Pilkada Serentak 2018 ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Akibatnya, mereka harus menjalani tahapan pemilu dari balik jeruji besi.
Lantas, dengan kondisi itu, mungkinkah proses debat calon kepala daerah akan tetap berlangsung?
Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan mengatakan, pada prinsipnya penyelenggara pemilu wajib bersikap obyektif dan memberikan keadilan bagi peserta pemilu.
"Kandidat yang ditangkap KPK itu di luar kuasa KPU. Tapi dalam hal ini tidak boleh juga pasangan lain dirugikan apabila tidak dilakukan debat publik," ujar Wahyu saat menjadi narasumber dalam seminar "Jurnalis Televisi, Pilakda Damai Tanpa SARA" di Gedung Dewan Pers Jakarta, Jumat (2/3/2018).
(Baca juga: Meski Ditahan KPK, Calon Kepala Daerah Bisa Kampanye di Media Elektronik)
Menurut Wahyu, kandidat yang telah berstatus tahanan KPK tidak mungkin dapat menghadiri debat publik. Meski demikian, debat publik dinilai tetap penting, karena sebagai salah satu ajang kampanye bagi kandidat lainnya.
Wahyu melanjutkan, dalam hal ini perlu dilakukan musyawarah antarkandidat. Misalnya, apabila yang ditangkap adalah calon bupati atau wali kota, maka yang mengikuti debat publik adalah calon wakil bupati atau calon wakil wali kota.
"Karena tidak mungkin KPU pinjam tahanan ke KPK hanya untuk ikut kampanye. Itu proses hukum yang tak bisa diintervensi," kata Wahyu.
Pilkada Serentak 2018 akan segera dimulai. Namun, baru selesai satu tahapan pilkada, beberapa calon kepala daerah malah tersangkut kasus hukum.
Mereka yang telah terdaftar sebagai calon kepala daerah dan berakhir di tangan KPK yakni, Bupati Jombang Nyono Suharli, Bupati Ngada Marianus Sae yang maju sebagai calon gubernur NTT.
Kemudian, Bupati Subang Imas Aryumningsih, yang kembali mencalonkan diri sebagai bupati. Terakhir, Bupati Lampung Tengah, Mustafa, yang mencalonkan diri sebagai gubernur Lampung.