JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Setara Institute Hendardi berharap semua pihak yang berkontestasi dalam Pilkada 2018 dan Pemilu 2019 tidak menggunakan sentimen SARA (suku, agama, ras dan antargolongan) dalam berkampanye.
Hendardi mengatakan, kampanye melalui politisasi agama dan ujaran kebencian dapat mengancam kohesi sosial, kebhinekaan, dan integrasi nasional.
Harapan tersebut termasuk dalam salah satu poin seruan moral dari 186 tokoh masyarakat dari berbagai latar belakang sosial untuk menyerukan semua pihak menjaga dan memperjuangkan nilai keberagaman.
"Secara aktual seruan moral kebhinekaan ini juga ditujukan untuk mengingatkan semua pihak yang berkontes dalam 171 Pilkada dan Pemilu 2019 untuk tidak menggunakan sentimen sara dalam berkampanye. Karena dampak dari itu adalah kohesi sosial kita yang terkoyak-koyak," ujar Hendardi dalam konferensi pers di Hotel Atlet Century, Jakarta, Selasa (20/2/2018).
Baca juga : Sebar Ujaran Kebencian dan SARA, Polisi Tangkap Pemilik Akun Twitter @ibhaskiss
Hendardi pun menilai berbagai kekerasan bernuansa agama yang belakangan terjadi disebabkan karena menguatnya politisasi agama untuk kepentingan tertentu atau kekuasaan.
Politisasi agama tersebut kemudian berwujud bentuk intoleransi, persekusi, dan diskriminasi.
"Politisasi agama atau identitas adalah cara paling buruk untuk meraih kekuasaan," tuturnya.
Berbagai kasus kekerasan bernuansa agama yang marak pada awal tahun ini di berbagai daerah merupakan ancaman serius terhadap kebhinekaan.
Pada awal Februari lalu terjadi kasus persekusi terhadap Biksu Mulyanto Nurhalim dan pengikutnya di Desa Caringin Kecamatan Legok Kabupaten Tangerang.
Baca juga : Potensi Politik SARA di Pilkada 2018 Diyakini Minim, Kenapa?
Kemudian, terjadi serangan di Gereja St. Ludwina Desa Trihanggo Kecamatan Gamping Kabupaten Sleman pada 11 Februari 2018, yang menyebabkan soerang pastor dan pengikutnya mengalami luka berat akibat sabetan senjata tajam.
Sebelumnya juga terjadi dua serangan terhadap tokoh agama, yaitu ulama, tokoh NU, dan pengasuh Pondok Pesantren Al-Hidayah Cicalengka Bandung, KH. Umar Basri dan ulama sekaligus Pimpinan Pusat Persis, H. R. Prawoto. Prawoto dianiaya orang tak dikenal pada Kamis (1/2/2018) hingga nyawanya tak dapat diselamatkan dan meninggal dunia.
"Berbagai serangan fisik terhadap tokoh-tokoh berbagai agama dan persekusi terhadap minoritas keagamaan, dan banyak dimensi lain dari kekerasan yang terjadi, menunjukkan adanya ancaman serius terhadap kebhinekaan," kata Hendardi.