Ambil contoh di Jawa Barat, sebab ini provinsi terbesar di Indonesia dengan 47 juta penduduk.
Pada tahun lalu, total tiras seluruh koran diasumikan sekitar 500.000 sampai 600.000 koran per hari. Jika diasumsikan satu koran dibaca tiga orang, maka oplahnya 1,5 juta orang.
Jumlah penduduk Jawa Barat sendiri akhir tahun 2017 mencapai 47 juta, dengan usia produktif sekitar 65 persen di antaranya (30 juta)
Dengan demikian, penetrasi keterbacaan adalah masing-masing mencapai 3,191 persen dari total penduduk serta 5 persen dari usia produktif.
Angka sebesar ini berbanding lurus pertumbuhan pengguna internet di Jabar kisaran 15 persen dari total pengguna internet Indonesia tahun lalu kisaran 120 juta atau 18 juta orang. Jadi, estimasi angka pembaca new media 12 kali lipat dari total pembaca koran!
Banyak survei menyebutkan bahwa motivasi mencari informasi adalah motif kedua mengakses internet setelah akses media sosial. Artinya, ada potensi pasar bagi media dan para pemasang iklan di sini.
Akan tetapi, fakta di lapangan, iklan dan berbagai material bisnis reguler tidak serta-merta pindah semuanya ke laman berita dari media cetak yang bahkan sudah berusia puluhan tahun lamanya di Tatar Sunda.
Penulis kerap menerima keluhan dari para praktisi media massa, sekalipun pembaca menurun, pengiklan masih tetap memilih bentuk konvensional. Anomali ini membuat investasi di kanal digital yang dikeluarkan tak cepat berbuah manis.
Data secara nasional setali tiga uang. Nielsen Advertising Information Services menunjukkan, total belanja iklan 2016 sebesar Rp 134,8 triliun atau tumbuh 14 persen dari tahun sebelumnya.
Ini meneruskan tren kenaikan dari tahun 2012 Rp 84,3 triliun, 2013 (Rp 101,9 triliun), 2014 (Rp 110 triliun), dan 2015 (Rp 118 triliun).
Sekalipun demikian, alokasi belanja masih ke media konvensional, yakni didominasi 77 persen televisi, koran 22 persen, dan majalah 1 persen. Sisanya, yakni hanya 2 persen, diperebutkan oleh radio dan termasuk media massa daring.
Anomalitas makin terasa karena Nielsen menyebutkan, jika pada 2012 ada 102 koran yang diteliti, maka tahun 2016 hanya 98 koran.
Demikian pula majalah, berkurang dari 162 menjadi 120, sehingga logikanya seharusnya ada peralihan belanja iklan dari media cetak ke media daring tersebut.
Faktanya, sekali lagi, pengelola media daring (sekalipun derivatif media cetak besar) masih gigit jari karena belum menemukan model bisnis ideal. Situasi ini diperumit para pengambil keputusan pada perusahaan pemasang iklan.
Dengan mayoritas termasuk golongan digital immigrant alias belum punya wawasan dan kepercayaan diri tinggi terhadap media baru, mereka tetap memilih berbelanja iklan di media tradisional sekalipun terjadi perubahan signifikan perilaku pembaca.