Hal ini menjadi paradoksial kedua karena di banyak negara maju, peralihan bisnis ke new media tersebut nyata terjadi bahkan signifikan.
The Nieman Jurnalism Lab, Amerika Serikat (2017) menuliskan, ketika iklan versi cetak The New York Times turun 11 persen menjadi 77 juta dollar AS per Januari-Juni 2017, maka pada waktu bersamaan, tumbuh iklan versi daring 23 persen menjadi 55 juta dollar AS.
Koran terbesar di Swedia, AftonBladet, pada tahun 2016 mencatat pendapatan iklan terbesar dari versi digital.
Ini berkat kesuksesan perolehan pembaca laman daring mereka via gawai sebanyak 2,5 juta orang sementara pembaca koran mereka 600.000 dari oplah 150.000 koran.
Kelompok media ternama Jerman, Die Welt, meraih laba 2016 sebesar 595 juta euro dengan 67 persen kontribusi berasal dari lini daring mereka.
Mengapa berbeda tajam di Indonesia? Hal ini perlu penjelasan terpisah dan tersendiri, namun singkatnya karena budaya membeli konten daring digital nyaris tiada di Indonesia tercinta ini.
Ketiga, paradoksial terjadi karena awak redaksi media massa kian dituntut menjadi jurnalis multimedia--untuk tidak menyebut palugada (apa lu mau, gue ada)--namun tanpa disertai peningkatan signifikandari sisi apresiasi.
Jurnalis hari ini bukan hanya bisa meliput dan menuliskan dalam sebuah bentuk press klarr, akan tetapi diminta juga bisa membantu perluasan kanal medianya. Misal wartawan media cetak, juga dituntut mengirim format berita audio visual sekalipun isinya still video.
Atau ada pula kejadian, mereka juga harus membantu memublikasikan dari sisi media sosial akun kantornya sehingga pekerjaan berkali lipat.
Sayangnya, beban bertambah ini tak disertai dengan penghargaan layak yang sebetulnya tak selalu harus berbentuk honor.
Terakhir, paradoksial terjadi ketika peningkatan kapasitas daya beli sekaligus tingkat pendidikan masyarakat Indonesia beberapa tahun terakhir tidak berbanding lurus untuk menjadi faktor pendukung peningkatan kinerja sebuah media massa.
Dengan makin sejahtera dan kian terpapar pendidikan kian bagus, maka lebih banyak yang kemudian diinvestasikan dalam kepemilikan duniawi yang konsumtif alih-alih meningkatkan kapasitas ruhani dengan kepemilikan literasi dari media massa.
Sangat jarang yang kemudian berusaha berlangganan banyak media massa guna asupan intelektual mereka saat tingkat kehidupan mereka merambat naik.
Motor, mobil, rumah, tanah, dan aneka properti, dan terutama pelesir ke berbagai tempat sebagai bahan unggahan media sosial, terus jadi pilihan primer.
Karenanya, imbas preferensi tersebut, jangan kaget apalagi sewot, jika faktanya kemampuan literasi orang Jakarta dewasa (25-65 tahun) lulusan minimal sekolah menengah atas lebih rendah dari kemampuan literasi masyarakat Eropa tingkat sekolah dasar (OECD PIAAC, 2016).
Anomali-anomali inilah yang masih bergelayutan dalam HPN 2018 ini, sehingga media massa tak mudah menjadi rujukan utama masyarakat yang kini malah lebih gampang percaya berita bohong.
Bersama kita tekan dan kurangi semua paradoksial ini! Maju terus pers Indonesia!
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.