Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menurut Ahli, LHKPN Bisa Jadi Indikator Dugaan Gratifikasi

Kompas.com - 26/01/2018, 14:35 WIB
Abba Gabrillin

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Ahli Hukum Pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta, Chairul Huda, memberikan keterangan dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Jumat (26/1/2018).

Chairul dihadirkan oleh terdakwa Rochmadi Saptogiri, selaku Auditor Utama Keuangan Negara III Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Dalam persidangan, Chairul ditanya oleh jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengenai Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).

Menurut Chairul, LHKPN bisa menjadi salah satu indikator penegak hukum dalam menduga adanya penerimaan gratifikasi.

"Itu indikator awal, tidak membuktikan, hanya jadi indikasi saja," kata Chairul.

Baca juga: Auditor BPK Menangis Saat Ingat Momen Ditangkap KPK

Menurut Chairul, data dalam LHKPN bisa menunjukkan pertambahan harta kekayaan yang wajar atau tidak wajar.

Dengan demikian, dapat dicurigai apakah penambahan harta tersebut diperoleh dari sumber yang sah, atau dari perbuatan melawan hukum.

Menurut Chairul, penyelenggara negara yang hartanya bertambah tersebut harus bisa membuktikan sumber penambahan hartanya.

Sementara, penegak hukum baru bisa menyebut sebagai gratifikasi jika terbukti penerimaan itu berasal dari perbuatan melawan hukum.

Dalam kasus ini, Rochmadi Saptogiri didakwa menerima gratifikasi sebesar Rp 3,5 miliar.

Sejak 11 Maret 2014 hingga 2017, Rochmadi menjabat sebagai Auditor Utama Keuangan Negara III BPK yang memiliki beberapa kewenangan.

Baca juga: Ditanya Hakim soal Mobil Mewah, Istri Auditor BPK Menolak Jawab

Rochmadi memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara pada bidang lembaga negara, kesejahteraan rakyat, kesekretariatan negara, aparatur negara, serta riset dan teknologi.

Menurut jaksa, dalam kurun waktu Desember 2014 hingga Januari 2015, Rochmadi secara bertahap menerima gratifikasi dari berbagai pihak.

Pertama, pada 19 Desember 2014 menerima Rp 10 Juta; pada 22 Desember 2014 menerima Rp 90 juta.

Kemudian, pada 19 Januari 2015 menerima Rp 380 juta; pada 20 Januari 2015 menerima Rp 1 miliar.

Selain itu, pada 21 Januari 2015 menerima sebesar Rp 1 miliar dan Rp 300 juta. Pada tanggal yang sama menerima lagi sebesar Rp 200 juta dan Rp 190 juta.

Kemudian, pada 22 Januari 2015 menerima Rp 330 juta.

Sejak menerima uang, Rochmadi tidak melaporkan kepada KPK sampai batas waktu 30 hari kerja, sebagaimana yang dipersyaratkan dalam undang-undang.

Dengan demikian, menurut jaksa, uang Rp 3,5 miliar tersebut harus dianggap sebagai suap.

Kompas TV KPK memeriksa Inspektur Jenderal Kementerian Pedesaan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Sugito.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Setelah Jokowi Tak Lagi Dianggap sebagai Kader PDI-P...

Setelah Jokowi Tak Lagi Dianggap sebagai Kader PDI-P...

Nasional
Pengertian Lembaga Sosial Desa dan Jenisnya

Pengertian Lembaga Sosial Desa dan Jenisnya

Nasional
Prediksi soal Kabinet Prabowo-Gibran: Menteri Triumvirat Tak Diberi ke Parpol

Prediksi soal Kabinet Prabowo-Gibran: Menteri Triumvirat Tak Diberi ke Parpol

Nasional
Jokowi Dianggap Jadi Tembok Tebal yang Halangi PDI-P ke Prabowo, Gerindra Bantah

Jokowi Dianggap Jadi Tembok Tebal yang Halangi PDI-P ke Prabowo, Gerindra Bantah

Nasional
Soal Kemungkinan Ajak Megawati Susun Kabinet, TKN: Pak Prabowo dan Mas Gibran Tahu yang Terbaik

Soal Kemungkinan Ajak Megawati Susun Kabinet, TKN: Pak Prabowo dan Mas Gibran Tahu yang Terbaik

Nasional
PKS Siap Gabung, Gerindra Tegaskan Prabowo Selalu Buka Pintu

PKS Siap Gabung, Gerindra Tegaskan Prabowo Selalu Buka Pintu

Nasional
PKB Jaring Bakal Calon Kepala Daerah untuk Pilkada 2024, Salah Satunya Edy Rahmayadi

PKB Jaring Bakal Calon Kepala Daerah untuk Pilkada 2024, Salah Satunya Edy Rahmayadi

Nasional
Saat Cak Imin Berkelakar soal Hanif Dhakiri Jadi Menteri di Kabinet Prabowo...

Saat Cak Imin Berkelakar soal Hanif Dhakiri Jadi Menteri di Kabinet Prabowo...

Nasional
Prabowo Ngaku Disiapkan Jadi Penerus, TKN Bantah Jokowi Cawe-cawe

Prabowo Ngaku Disiapkan Jadi Penerus, TKN Bantah Jokowi Cawe-cawe

Nasional
Orang Dekat Prabowo-Jokowi Diprediksi Isi Kabinet: Sjafrie Sjamsoeddin, Dasco, dan Maruarar Sirait

Orang Dekat Prabowo-Jokowi Diprediksi Isi Kabinet: Sjafrie Sjamsoeddin, Dasco, dan Maruarar Sirait

Nasional
Prabowo Diisukan Akan Nikahi Mertua Kaesang, Jubir Bilang 'Hoaks'

Prabowo Diisukan Akan Nikahi Mertua Kaesang, Jubir Bilang "Hoaks"

Nasional
Momen Jokowi dan Menteri Basuki Santap Mie Gacoan, Mentok 'Kepedasan' di Level 2

Momen Jokowi dan Menteri Basuki Santap Mie Gacoan, Mentok "Kepedasan" di Level 2

Nasional
Ditolak Partai Gelora Gabung Koalisi Prabowo, PKS: Jangan Terprovokasi

Ditolak Partai Gelora Gabung Koalisi Prabowo, PKS: Jangan Terprovokasi

Nasional
Kapolri Bentuk Unit Khusus Tindak Pidana Ketenagakerjaan, Tangani Masalah Sengketa Buruh

Kapolri Bentuk Unit Khusus Tindak Pidana Ketenagakerjaan, Tangani Masalah Sengketa Buruh

Nasional
Kapolri Buka Peluang Kasus Tewasnya Brigadir RAT Dibuka Kembali

Kapolri Buka Peluang Kasus Tewasnya Brigadir RAT Dibuka Kembali

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com