JAKARTA, KOMPAS.com - Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Ahmad Muzani menilai, putusan terkait ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold), menunjukan hilangnya kewarasan Mahkamah Konstitusi (MK).
"Dalam hal ambang batas pencalonan presiden Pasal 222, MK seperti kehilangan keseimbangan, kehilangan kewarasan," kata Muzani saat dihubungi, Kamis (11/1/2018).
Dalam putusannya, MK memutuskan menolak uji materi yang diajukan para pemohon terhadap pasal 222 UU Pemilu. MK menilai pasal tersebut tak bertentangan dengan UUD 1945.
Dengan putusan MK ini, maka parpol atau gabungan parpol harus mengantongi 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional untuk bisa mengusung pasangan capres dan cawapres di 2019.
Namun, karena pemilu legislatif dan pemilu presiden 2019 digelar secara serentak, maka ambang batas yang digunakan adalah hasil pemilu legislatif 2014 lalu.
(Baca juga: Presidential Threshold, Siap-siap Calon Presiden Tunggal...)
Muzani tak habis pikir, mengapa MK menganggap pasal 222 terkait ambang batas pencalonan presiden sah dan konstitusional.
"Bagaimana mungkin hasil Pemilu yang sudah digunakan sebagai ambang batas untuk Pilpres 2014 kembali digunakan untuk Pilpres 2019 mendatang," kata dia.
Muzani juga menilai, putusan MK soal presidential threshold ini tidak konsisten dengan putusan soal verifikasi faktual yang diatur dalam pasal 173 ayat (1) dan (3) UU Pemilu.
Dalam hal pengambilan keputusan tentang verifikasi, mahkamah memutuskan bahwa seluruh parpol peserta pemilu 2019 harus diverifikasi ulang, tak perduli partai lama atau baru.
Hal ini demi kesetaraan dan persamaan dimata hukum sehingga tidak ada keistimewaan antar partai politik satu dengan yang lain.
Namun, dalam mengambil putusan soal ambang batas pencalonan presiden, Muzani menilai logika kesetaraan yang sama tidak digunakan oleh MK.