JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengucapkan terima kasih kepada Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah menolak gugatan terhadap presidential threshold sebesar 20 persen kursi di DPR atau 25 persen perolehan suara nasional.
"Kami menyampaikan terima kasih pada MK. Setidaknya MK mendengar semua pihak bahwa proses penetapan presidential threshold sudah diputuskan oleh DPR dari sisi konstitusional," kata Tjahjo di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (11/1/2018).
Ia menambahkan, saat mengusulkan dan bersikeras agar presidential threshold tetap di angka sebelumnya, tentunya mempertimbangkan aspek hukum dan kemungkinan digugat setelahnya.
Karena itu, sejak awal, ia mengatakan pihaknya merasa optimis meskipun Undang-undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu digugat.
Ia pun menghormati pihak yang tak senang dengan putusan MK namun mengimbau kepada mereka agar tetap menghormati dan menjalaninya.
"MK putuskan itu atas dasar kosntitusional dan itu final mengikat. Mari hormati putusan MK karena toh pemerintah berikan kesempatan peluang ada proses hakim di MK," lanjut dia.
(Baca juga: Melihat Peta Politik Pilpres 2019 Pasca-Putusan MK soal Presidential Threshold)
Mahkamah Konstitusi menolak uji materi pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Uji materi ini diajukan Partai Idaman yang teregistrasi dengan nomor 53/PUU-XV/2017.
"Menolak permohonan pemohon untuk selain dan selebihnya," kata Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat saat membacakan putusan di Gedung MK, Jakarta, Selasa (11/1/2018).
Adapun pasal 222 mengatur ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold.
Partai politik atau gabungan parpol harus memiliki 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional pada pemilu 2014 lalu untuk bisa mengusung pasangan capres dan cawapres.
Dalam dalil yang diajukan, Partai Idaman diantaranya menilai pasal tersebut sudah kedaluwarsa karena menggunakan hasil pileg 2014 sebagai ambang batas pilpres 2019.
Dalam pertimbangannya, MK menilai presidential threshold relevan untuk memperkuat sistem presidensial.
Dengan presidential threshold, maka Presiden yang terpilih nantinya bisa memiliki kekuatan di parlemen.
MK juga menilai pasal 222 tidak kedaluwarsa karena merupakan UU baru yang disahkan pemerintah dan DPR pada 2017 lalu, bukan UU lama yang digunakan untuk menggelar pilpres 2014. MK juga menilai pasal 222 tidak bersifat diskriminatif.