JAKARTA, KOMPAS.com - Pengacara senior Todung Mulya Lubis mendatangi gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jumat (22/12/2017).
Todung mengaku dirinya hendak diperiksa KPK sebagai saksi untuk mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung.
"Saya diperiksa sebagai saksi, BLBI, (untuk) Syafruddin Temenggung," kata Todung, di gedung KPK, Kuningan, Jakarta, Jumat sore.
Todung menyatakan, dahulu dirinya merupakan pengacara dari BPPN. Dia meminta wartawan bertanya kembali setelah pemeriksaan dilakukan.
(Baca juga: KPK Cegah Bepergian Delapan Orang Terkait Kasus BLBI)
KPK sendiri pada Kamis (21/12/2017) telah menahan Syafruddin.
Syafruddin merupakan tersangka pada kasus penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) dalam Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada Sjamsul Nursalim, selaku pemegang saham pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) tahun 2004.
(Baca: KPK Tahan Mantan Kepala BPPN Syafruddin Temenggung)
Kepada wartawan saat hendak ditahan kemarin, Syafruddin menyatakan bahwa yang dia kerjakan sudah sesuai dengan aturan.
"Saya jelaskan yang saya kerjakan di BPPN itu sudah sesuai dengan aturan semua, dan sudah diaudit BPK. Semua sudah dikerjakan dengan sebaik-baiknya," kata Syafruddin, Kamis (21/12/2017).
Syafruddin menyatakan, SKL untuk Sjamsul selaku selaku pemegang saham pengendali BDNI yang dikeluarkannya itu sudah melalui persetujuan Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK).
Dia merujuk keputusan KKSK nomor 01/K.KKSK/03/2004 Tanggal 17 Maret 2004, yang menurutnya menyetujui pemberian bukti penyelesaian kewajiban terhadap Sjamsul.
"Semua sudah ada persetujuan dari KKSK, dari semuanya. Saya hanya mengikuti aturan," ujar Syafruddin.
(Baca: Syafruddin Temenggung Klaim yang Dilakukannya di BPPN Sesuai Aturan)
Syafruddin kemudian menunjukkan buku audit dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2006, di mana menurut dia BPK berpendapat Sjamsul termasuk yang layak diberikan SKL.
"Saya sudah punya buku ini, jadi semua yang saya kerjakan di BPPN sudah seperti ini. Jadi ini sudah ada semua," ujar dia sambil menunjukan buku audit dari BPK berwarna kuning.
Soal temuan dugaan kerugian negara senilai Rp 4,58 triliun dalam audit BPK 2017, menurut dia, karena hak tagih utang petambak Rp 4,8 triliun, yang menjadi bagian pembayaran utang Sjamsul Nursalim ke BPPN, dijual Rp 220 miliar oleh Menteri Keuangan pada 2007.
Sehingga ada dugaan kerugian negara Rp 4,58 triliun. Namun, dia menegaskan selama dia memimpin BPPN tidak pernah dia hapuskan utang petambak ini. Sehingga dia mengganggap tidak pernah ada kerugian negara selama dia menjabat sebagai Ketua BPPN
"Kalaupun ada potensi kerugian negara, yang melaksanakan penjualan bukan kami, tetapi Menteri Keuangan dan PT PPA. Dan waktu penjualannya setelah BPPN tutup tahun 2004," ujar Syafruddin.
Dia menganggap KPK salah menetapkannya sebagai tersangka kasus ini. Dia juga membantah ada imbalan untuknya dari menerbitkan SKL untuk Sjamsul.
Kasus SKL BLBI terjadi pada April 2004 saat Syafruddin mengeluarkan surat pemenuhan kewajiban atau yang disebut SKL terhadap Sjamsul Nursalim.
SKL itu terkait pemenuhan kewajiban penyerahan aset oleh sejumlah obligator BLBI kepada BPPN.
SKL itu dikeluarkan mengacu pada Inpres Nomor 8 Tahun 2002 yang dikeluarkan pada 30 Desember 2002 oleh Megawati Soekarnoputri, yang saat itu menjabat Presiden RI.
KPK menduga Syafrudin telah menguntungkan diri sendiri, orang lain atau korporasi, yang telah menyebabkan kerugian keuangan negara.
Audit investigatif Badan Pemeriksa Keuangan tertanggal 25 Agustus 2017, terkait kasus ini menyebutkan nilai kerugian keuangan negara adalah Rp 4,58 triliun.
Nilai kerugian negara ini lebih tinggi daripadanya yang sebelumnya diperkirakan KPK sebelumnya yang sebesar Rp 3,7 triliun.
Dalam kasus ini, Syafruddin dijerat dengan Pasal 2 Ayat 1 atau Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor Juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.