JAKARTA, KOMPAS.com - Tersangka kasus penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) dalam Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada Sjamsul Nursalim, Syafruddin Arsyad Temenggung, tetap pada keyakinan bahwa apa yang dilakukannya sesuai aturan.
Mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) itu mengatakan, SKL untuk Sjamsul selaku pemegang saham pengendali BDNI yang dikeluarkannya itu sudah melalui persetujuan Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK).
"Saya jelaskan yang saya kerjakan di BPPN itu sudah sesuai dengan aturan semua, dan sudah diaudit BPK, dan semua sudah dikerjakan dengan sebaik-baiknya," kata Syafruddin, di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta, Kamis (21/12/2017).
Pada hari ini, seusai menjalani pemeriksaan sebagai tersangka, Syafruddin ditahan KPK.
Baca juga: KPK Tahan Mantan Kepala BPPN Syafruddin Temenggung
Syafruddin mengatakan, kebijakan yang dilakukannya merujuk keputusan KKSK nomor 01/K.KKSK/03/2004 Tanggal 17 Maret 2004, yang dinilainya menyetujui pemberian bukti penyelesaian kewajiban terhadap Sjamsul.
"Semua sudah ada persetujuan dari KKSK, dari semuanya. Saya hanya mengikuti aturan," ujar Syafruddin.
Syafruddin kemudian menunjukkan buku audit dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2006. Menurut dia, BPK berpendapat Sjamsul termasuk yang layak diberikan SKL.
"Saya sudah punya buku ini, jadi semua yang saya kerjakan di BPPN sudah seperti ini. Jadi ini sudah ada semua," ujar Syafruddin, sambil menunjukkan buku audit dari BPK berwarna kuning.
Baca juga: Ini Kesimpulan KPK Tanggapi Praperadilan Mantan Kepala BPPN
Soal temuan dugaan kerugian negara senilai Rp 4,58 triliun dalam audit BPK 2017, menurut Syafruddin, karena hak tagih utang petambak Rp 4,8 triliun, yang menjadi bagian pembayaran utang Sjamsul Nursalim ke BPPN, dijual Rp 220 miliar oleh Menteri Keuangan pada 2007.
Hal ini menyebabkan ada dugaan kerugian negara Rp 4,58 triliun.
Dia mengklaim, selama memimpin BPPN, tidak pernah menghapuskan utang petambak.
"Kalaupun ada potensi kerugian negara, yang melaksanakan penjualan bukan kami, tetapi Menteri Keuangan dan PT PPA. Dan waktu penjualannya setelah BPPN tutup tahun 2004," ujar Syafruddin.
Syafruddin menganggap KPK salah menetapkannya sebagai tersangka dalam kasus ini. Dia juga membantah ada imbalan yang didapat dari menerbitkan SKL untuk Sjamsul.