Soal temuan dugaan kerugian negara senilai Rp 4,58 triliun dalam audit BPK 2017, menurut dia, karena hak tagih utang petambak Rp 4,8 triliun, yang menjadi bagian pembayaran utang Sjamsul Nursalim ke BPPN, dijual Rp 220 miliar oleh Menteri Keuangan pada 2007.
Sehingga ada dugaan kerugian negara Rp 4,58 triliun. Namun, dia menegaskan selama dia memimpin BPPN tidak pernah dia hapuskan utang petambak ini. Sehingga dia mengganggap tidak pernah ada kerugian negara selama dia menjabat sebagai Ketua BPPN
"Kalaupun ada potensi kerugian negara, yang melaksanakan penjualan bukan kami, tetapi Menteri Keuangan dan PT PPA. Dan waktu penjualannya setelah BPPN tutup tahun 2004," ujar Syafruddin.
Dia menganggap KPK salah menetapkannya sebagai tersangka kasus ini. Dia juga membantah ada imbalan untuknya dari menerbitkan SKL untuk Sjamsul.
Kasus SKL BLBI terjadi pada April 2004 saat Syafruddin mengeluarkan surat pemenuhan kewajiban atau yang disebut SKL terhadap Sjamsul Nursalim.
SKL itu terkait pemenuhan kewajiban penyerahan aset oleh sejumlah obligator BLBI kepada BPPN.
SKL itu dikeluarkan mengacu pada Inpres Nomor 8 Tahun 2002 yang dikeluarkan pada 30 Desember 2002 oleh Megawati Soekarnoputri, yang saat itu menjabat Presiden RI.
KPK menduga Syafrudin telah menguntungkan diri sendiri, orang lain atau korporasi, yang telah menyebabkan kerugian keuangan negara.
Audit investigatif Badan Pemeriksa Keuangan tertanggal 25 Agustus 2017, terkait kasus ini menyebutkan nilai kerugian keuangan negara adalah Rp 4,58 triliun.
Nilai kerugian negara ini lebih tinggi daripadanya yang sebelumnya diperkirakan KPK sebelumnya yang sebesar Rp 3,7 triliun.
Dalam kasus ini, Syafruddin dijerat dengan Pasal 2 Ayat 1 atau Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor Juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.