JAKARTA, KOMPAS.com - "Tadinya mau lanjut sekolah tapi enggak bisa, karena enggak ada biaya. Akhirnya dipaksa untuk menikah," ujar Rasminah (32), warga Indramayu, saat mengisahkan sepenggal kisah hidupnya sebagai korban perkawinan anak, Senin (18/12/2017).
Rasminah merupakan salah satu pemohon uji materi Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Dalam permohonannya, Rasminah meminta MK melakukan uji materi Pasal 7 ayat (1) terutama pada frasa "batas minimal usia perkawinan perempuan adalah 16 tahun".
Batas minimal usia yang terlalu rendah dinilai menjadi penyebab perkawinan anak kerap terjadi.
Rasminah dipaksa menikah oleh orangtuanya pada usia 13 tahun karena faktor ekonomi.
Baca juga: Ketentuan Batas Usia Nikah di UU Perkawinan Mendiskriminasi Kaum Perempuan
Setelah setahun, laki-laki berusia 35 tahun yang menikahi Rasminah, pergi meninggalkannya tanpa alasan yang jelas.
Dengan alasan malu, keluarga mendesak Rasminah menikah lagi dengan lelaki berusia 25 tahun.
"Saya dikawinkan tiga kali, saat usia 13, 16, dan 20 tahun, dan terakhir umur 27 tahun dengan orang yang saya cintai. Akhirnya saya menikah atas keinginan sendiri dengan suami yang sekarang," kata Rasminah.
Kemiskinan memaksa anak-anak perempuan dinikahkan dengan laki-laki yang dianggap bisa memberikan nafkah.
Kondisi itu membuat kedudukan perempuan menjadi tidak setara dengan laki-laki. Akibatnya seringkali seorang suami bertindak sewenang-wenang dan memandang kedudukan istri lebih rendah.
Baca: Sidang Tertunda 6 bulan, Pemohon Uji Materi UU Perkawinan Protes ke MK
Tidak mengherankan jika sang suami pun meninggalkan Rasminah tanpa alasan yang jelas.
"Banyak yang seperti saya, tapi takut (untuk bicara) . Yang nikah muda, kemudian cerai banyak. Yang Ditinggal suaminya banyak, tapi mereka takut untuk melapor," kata Rasminah.
Diskriminasi perempuan