JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu berharap, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak atau tidak dapat menerima permohonan uji materi sejumlah pasal terkait kejahatan terhadap kesusilaan di Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHP), dalam sidang pleno di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (14/12/2017).
Permohonan uji materi Pasal 284, Pasal 285, dan Pasal 292 KUHP diajukan oleh Guru Besar IPB Euis Sunarti bersama sejumlah pihak.
Dalam gugatannya, pemohon meminta Pasal 284 tidak perlu memiliki unsur salah satu orang berbuat zina sedang dalam ikatan perkawinan dan tidak perlu ada aduan.
Terkait Pasal 292, pemohon meminta dihapuskannya frasa “anak” sehingga semua perbuatan seksual sesama jenis dapat dipidana.
Selain itu, homoseksual harus dilarang tanpa membedakan batasan usia korban, baik masih belum dewasa atau sudah dewasa.
Baca: Pasal Kesusilaan dalam RUU KUHP
Erasmus menilai, jika permohonan tersebut dikabulkan, maka Indonesia akan menghadapi bencana krisis kelebihan tindak pidana atau overkriminalisasi.
"ICJR sejak dari awal menegaskan bahwa apabila permohonan ini diterima, maka Indonesia akan diterpa krisis kelebihan tindak pidana atau overkriminalisasi," ujar Erasmus melalui keterangan tertulis, Rabu (13/12/2017).
Erasmus mengatakan, memperluas makna dari zina dengan cara menghapus syarat ikatan perkawinan atau mengkriminalkan hubungan seksual suka sama suka dan memidana hubungan seksual sesama jenis jelas akan menimbulkan overkriminalisasi.
Menurut dia, penggunaan hukum pidana yang berlebihan atau overkriminalisasi akan menimbulkan dampak buruk, tidak hanya bagi warga negara, tetapi pada institusi negara.
Erasmus memaparkan lima dampak jika permohonan uji materi diterima MK. Pertama, meningkatnya jumlah tindak pidana.
Kedua, sejalan dengan poin pertama, maka akan terjadi ledakan penghuni Rutan dan Lapas. Sementara, saat ini indonesia masih mengalami kelebihan beban di Rutan dan Lapas.
Ketiga, menambah beban penegakan hukum. Fokus aparat penegak hukum yang seharusnya ditingkatkan untuk memecahkan kasus-kasus rumit dan modern, kata Erasmus, akan sirna karena dibanjiri dengan kasus-kasus kesusilaan.
Keempat, fenomena main hakim sendiri dari masyarakat.
Erasmus mengatakan, jika aparat penegak hukum kehabisan sumber daya akibat jumlah kasus yang bertambah banyak dan saat aparat penegak hukum tidak mampu untuk menunjukkan efektifitas penegakan hukum, maka akan terjadi penurunan kepercayaan publik pada sistem peradilan pidana.
"Warga negara bisa jadi tidak memahami bahwa beban kasus semakin banyak, tidak akan mampu diimbangi dengan sumber daya aparat yang terbatas, hasilnya bisa diduga, akan banyak tindakan main hakim sendiri," kata Erasmus.
Kelima, negara akan semakin mengkontrol ruang privasi warga negara. Dalam kondisi ini, maka hukum pidana akan menjadi alat yang sangat efektif untuk mengontrol warga negara.
Aparat penegak hukum, kata Erasmus, akan sangat mudah menggunakan dalil delik kesusilaan untuk masuk ke ruang privasi warga negara.
Akibatnya, negara tidak lagi mampu menjamin hak privasi dari warga negara karena penggunaan instrumen pidana yang berlebihan.
"Untuk itu, ICJR berharap MK masih jernih dalam memastikan bahwa overkriminalisasi tidak akan terjadi, perdebatan konstitusional terkait pasal-pasal yang diuji semestinya sudah selesai begitu MK menyadari bahwa memperluas delik kesusilaan hanya akan menambah beban dari negara tanpa ada hasil yang pasti," ujar dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.