JAKARTA, KOMPAS.com - Kementerian Komunikasi dan Informatika mencatat bahwa sepanjang 2017 ada 13.829 konten negatif berupa ujaran kebencian yang tersebar di media sosial. Selain itu terdapat pula 6.973 berita bohong dan 13.120 konten pornografi.
Sementara itu, hingga 18 September 2017, pemerintah telah memblokir sebanyak 782.316 situs yang bermuatan konten negatif.
Peneliti Maarif Institute Khelmy K Pribadi menuturkan bahwa tidak dipungkiri penyebaran konten positif tidak sepesat perkembangan konten negatif.
"Perkembangan konten positif memang tidak sepesat penyebaran konten negatif," ujar Khelmy saat ditemui di sela penutupan rangkaian pelatihan "#1nDONEsia: Cerdas Bermedia Sosial" di UOB Plaza, Jakarta Pusat, Jumat (8/12/2017).
(Baca juga: Generasi Milenial Diminta Kritis terhadap Konten Negatif di Medsos)
Menurut Khelmy, konten negatif yang menyebar di media sosial berupa ujaran kebencian, berita bohong dan sentimen bernada SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan), berdampak besar pada pola pikir maupun sikap generasi muda, terutama di tingkat sekolah menengah atas.
Menurut Khelmy, seorang remaja yang sering terpapar konten negatif cenderung memiliki sikap yang intoleran terhadap orang-orang dengan latar belakang berbeda.
"Ujaran kebencian memiliki dampak yang besar bagi anak-anak muda untuk bertindak intoleran. Konten negatif di internet itu sangat menunjang terjadinya tindakan intoleransi dan diskriminasi," tuturnya.
Khelmy mengatakan, menguatnya isu SARA belakangan ini, seperti pribumi dan non-pribumi, mendorong cara pandang yang negatif terhadap perbedaan.
Hal tersebut tentu mengkhawatirkan, mengingat generasi muda telah menjadikan internet sebagai sebagai sumber rujukan utama dalam mencari informasi.
"Isu SARA seperti pribumi dan non pribumi itu punya dampak bagi anak-anak muda dalam memandang orang-orang yang berbeda," kata dia.
Oleh sebab itu, Khelmy menilai harus ada upaya lintas sektoral untuk membanjiri internet dan media sosial dengan konten-konten yang positif. Hal tersebut perlu dilakukan sebagai counter terhadap maraknya penyebaran konten negatif.
Artinya, anak-anak muda harus didorong untuk memproduksi dan membagikan konten positif secara online.
(Baca juga: Pemerintah-Google Uji Coba "Trusted Flagger" Perangi Konten Negatif)
"Sudah saatnya remaja menjadi produsen konten positif," kata Khelmy.
Berangkat dari ide tersebut Maarif Institute bersama YouTube Creators for Change menggagas pelatihan konten video positif "#1nDONEsia: Cerdas Bermedia Sosial".
Pelatihan tersebut bertujuan untuk memberdayakan generasi muda lewat kreasi video positif yang mengandung nilai toleransi dan keberagaman.
Sebanyak dua ribu siswa dari 180 SMA/SMK di 10 kota yakni Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Medan, Surabaya, Semarang, Bali, Pontianak, Ambon, dan Makassar telah mengikuti pelatihan tersebut.
Kepala Kebijakan Publik dan Hubungan Pemerintahan di Google Indonesia, Shinto Nugroho mengatakan, literasi media sangat diperlukan untuk memenuhi konten sosial media dengan konten yang positif.
Diharapkan, generasi muda khususnya pelajar tidak hanya menjadi konsumen, melainkan juga menjadi produsen konten positif.
"Literasi media tersebut adalah upaya untuk memenuhi konten sosial media dengan konten positif. Hal ini membuat pelajar tidak hanya menjadi konsumen namun juga menjadi produsen konten positif," ujarnya.
Dirjen Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika Semuel Abrijani Pangerapan menuturkan bahwa sebagian besar masyarakat saat ini cenderung memercayai segala informasi yang beredar di internet tanpa melakukan klarifikasi.
Menurut hasil survei CIGI-Ipsos 2016, sebanyak 65 persen dari 132 juta pengguna internet di Indonesia percaya dengan kebenaran informasi di dunia maya tanpa cek dan ricek.
Padahal, kata Semuel, tidak menutup kemungkinan konten yang tersebar mengandung konflik kepentingan.
"Sebanyak 65 persen dari seluruh pengguna internet percaya internet tanpa cek dan ricek. Padahal konten di internet bisa difabrikasi. Tergantung dari siapa yang menyajikan informasi itu," ujar Semuel.
(Baca juga: Cegah Konten Negatif Pengaruhi Anak, KPAI Harap Kominfo Buat Regulasi Baru)
Semuel menilai fenomena tersebut terjadi karena peningkatan pengguna internet belum dibarengi dengan peningkatan literasi digital.
Akibatnya, penyebaran konten negatif seperti ujaran kebencian, berita bohong, perundungan, radikalisme dan pornografi menjadi ancaman besar saat ini.
Ia pun mencontohkan terungkapnya kasus kelompok Saracen yang menjalankan bisnis ujaran kebencian. Menurut Semuel, kasus tersebut seharusnya menyadarkan masyarakat bahwa tidak sedikit konten di internet rentan dengan konflik kepentingan.
"Dampak teknologi tanpa literasi contohnya pabrikasi isu oleh kelompok Saracen. Ini harusnya jadi pelajaran bahwa hati-hati dalam menggunakan internet. Maka kita harus mengecek informasi yang beredar dari berbagai sumber. Tabayyun," tuturnya.
Melihat fenomena tersebut, lanjut Semuel, pemerintah berupaya menggandeng berbagai komunitas dalam mengupayakan literasi digital di tengah masyarakat.
Program yang saat ini tengah berjalan salah satunya adalah Siber Kreasi. Melalui program tersebut pemerintah dan komunitas masyarakat menyosialisasikan literasi digital ke berbagai sektor terutama pendidikan, antara lain, mendorong dimasukkannya materi literasi digital ke dalam kurikulum formal.
Gerakan ini juga mendorong masyarakat untuk aktif berpartisipasi menyebarkan konten positif melalui internet dan lebih produktif di dunia digital.
"Di hulu kami lakukan gerakan literasi digital dan kami banyak ajak teman-teman (komunitas) untuk bekerja sama. Kami adakan pendampingan. Sudah 60 organisasi yang bergabung di Siber Kreasi. Di hilir kami lakukan penegakan hukumnya bersama dengan pihak kepolisian," kata Semuel.
Selain itu, ia juga menekankan soal pentingnya internalisasi nilai-nilai utama bangsa Indonesia, yakni kebinekaan dan toleransi.
"Dua hal itu signifikan, menyiapkan generasi muda dalam menghadapi ancaman konten negatif, ujaran kebencian, hoaks, dan paham radikalisme di internet," ucapnya.
(Baca juga: Cegah Konten Negatif Pengaruhi Anak, KPAI Harap Kominfo Buat Regulasi Baru)
Harus jadi tren
Dalam memberikan pelatihan pembuatan konten video, Maarif Institute dan Youtube Creators for Change menggandeng pembuat konten Cameo Project sebagai tutornya.
Martin Anugrah dari Cameo Project menuturkan bahwa pembuatan konten positif harus dijadikan tren di kalangan anak muda agar dapat melawan konten negatif.
Dengan menjadi tren, anak muda akan lebih tertarik untuk memproduksi kontennya positifnya sendiri.
"Kita harus menetapkan satu tren positif. Kalau sekarang kita bisa membuat konten positif sebagai tren akan lebih mudah. Sekarang apa pun yang tren pasti diikuti," ujar Martin.
Hal senada diungkapkan oleh rekan Martin, Yosi Mokalu. Menurut Yosi daya tarik konten negatif adalah kekhawatiran. Hal itu bisa dilawan oleh daya tarik yang dimiliki oleh konten positif, yakni kreativitas.
Ia pun berharap semakin banyak generasi milenial yang menjadi content creator video YouTube yang memuat nilai-nilai positif.
"Kami terpilih menjadi duta Youtube Creators for Change, berarti kami punya misi mengenalkan konten positif dan mengajarkan. Harapannya, bukan cuma membuat banyak konten positif. Tetapi lebih banyak lagi, pembuat konten positif. Bukan cuma kontennya, tetapi people-nya," kata Yosi.