Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mempertautkan Bung Karno, Ho Chi Minh dan Kennedy

Kompas.com - 01/12/2017, 08:54 WIB
Yoga Sukmana

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden pertama RI Soekarno atau Bung Karno dikenal luas memiliki pendirian yang tegas dan berwiba, namun Presiden RI pertama itu bukanlah sosok yang kaku.

Sejarah mencatat, Putra Sang Fajar itu bisa menjalin hubungan dengan siapa saja, tidak terkecuali dengan tokoh revolusi Vietnam Ho Chi Minh dan Presiden Amerika Serikat (AS) John F. Kennedy yang punya idealisme berbeda.

Seperti diketahui, Bung Karno adalah tokoh yang memprakarsasi gerakan non blok di tengah kecamuk perang dingin antara Uni Soviet dengan komunismenya dan Amerika Serikat dengan liberalisme dan kapitalismenya.

 

Kawan Sehaluan

Kedekatan Ho Chi Minh dan Soekarno mulai terlihat pada 4 Maret 1959. Saat itu, atas usul Soekarno, Ho Chi Minh mendapatkan gelar doktor honoris causa dari Universitas Padjajaran Bandung.

Di tahun yang sama, tokoh kharismatik Vietnam itu datang ke Indonesia dengan senang hati atas undangan Bung Karno.

Bahkan Bung Karno pernah mengajak Ho ke Bandung untuk bersama meresmikan nama Institut Teknologi Bandung (ITB) yang sebelumnya bernama Fakultas Teknik Universitas Indonesia.

Jauh sebelum kedekatan itu, Bung Karno dan “Paman” Ho sudah memiliki pertautan. Keduanya dikenal sebagai tokoh perjuangan yang anti kolonialisme dan imperialisme.

Tim Historia dalam bukunya yang diterbitkan Kompas, "Ho Chi Minh dan Soekarno", menyebut kedua tokoh besar itu sebagai kawan sehaluan dari negeri seberang.

Ho bahkan pernah berkirim surat kepada Soekarno pada 19 November 1945. Isinya, mengajak tokoh perjuangan kemerdekaan Indonesia bersama-sama mengusir kolonialis dan imperialis di Asia mulai dari India, Burma, Indonesia, dan Malaya.

Ide itu menurut Sejarawan Asvi Warman Adam dalam buku "Ho Chi Minh dan Soekarno", paralel dengan gagasan Bung Karno di Konferensi Asia-Afrika 1955.

"Dia (Ho) ingin menyatukan negara-negara tersebut dalam satu federasi,” begitu tulis Tim Historia.

Kedekatan kedua pemimpin itu otomatis mempererat hubungan Indonesia dengan Vietnem. Indonesia bahkan menggalang lobi dan kampanye internasional antiinvasi Amerika Serikat (AS) di Vietnem Selatan.

Ho sendiri wafat pada 1969, setahun sebelum Bung Karno berpulang. Namun pasca wafat, kedua tokoh itu diperlakukan berbeda.

Ho dikenang meriah oleh masyarakat Vietnam, tetapi “Soekarno dikenang dalam keremangan catatan sejarah versi Orde Baru”, tulis Tim Historia.

 

Kehangatan di Barat

Di rentang waktu yang sama, Bung Karno juga menjalin hubungan dekat dengan Presiden AS John F. Kennedy. Hubungan itu terjalin saat tokoh kelahiran Surabaya itu datang ke Washington pada April 1961.

“Dia mendekatiku dengan langsung dan ramah sekali,” kenang Bung Karno dalam otobiografinya karya Cyndy Adams, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.

Bahkan, seperti dikutip dari Kennedy dan Soekarno, karya Tim Historia, Bung Karno diajak berkeliling Washington oleh Kennedy dengan menaiki helikopter.

Bapak bangsa itu merasa senang, apalagi Kennedy menawarinya capung besi tersebut. Entah bagaimana prosesnya, helikopter pemberian Kennedy sampai di Indonesia pada 1962, saat konflik Irian Barat kian memanas.

Kujungan Bung Karno ke Washington sendiri bertepatan dengan pembukaan forum baru pemerintahan demokratis Papua Barat bentukan Belanda. Namun, Kennedy memilih bertemu Soekarno daripada menghadiri undangan Belanda.

AS memiliki kepentingan strategis untuk lebih dekat dengan Indonesia dalam konteks perang dingin. Apalagi pengaruh Partai Komunis Indonesia (PKI) sudah besar saat itu.

Pasca pertemuan itu, AS yang sejak awal pasif justru mulai aktif terkait isu Irian Barat. Langkah itu diambil untuk mengimbangi pengaruh Uni Soviet di Indonesia.

Di luar itu, Bung Karno memiliki kesan positif kepada Kennedy. Bahkan, ia sempat mengundang Kennedy datang ke Indonesia. Ajakan itu disambut hangat oleh pemimpin barat itu dan berjanji akan datang pada 1964.

Pada 1962, Bung Karno bahkan membentuk tim arsitek untuk membangun wiswa negara di lingkungan Istana Merdeka Jakarta.

Guntur Sukarnoputra dalam "Bung Karno dan Kesayangnya" mengatakan, wiswa negara dibangun Bung Karno agar Kennedy bisa tinggal lebih nyaman saat datang ke Indonesia.

Sayangnya, keinginan Bung Karno itu tidak pernah terwujud. Kennedy tidak pernah datang. Ia dibunuh di Dallas, Texas, pada 22 November 1963.

Tokoh proklamator kemerdekaan Indonesia itu kehilangan sosok yang ia nilai sebagai pemimpin yang memberikan kedudukan AS sesuai perkembangan dunia saat itu.

“Aku sangat menyesal bahwa dia tidak tidak pernah bisa datang,” kata Soekarno dikutip Tim Historia dari Merdeka, 25 November 1963.

 

Kosmopolitan

Ditemui di Musium Nasional, Sejarawan Yosef Djakababa menilai bahwa hubungan baik Bung Karno dengan Ho Chi Minh dan Kennedy menunjukan bahwa bapak bangsa itu memiliki sikap kosmopolitan.

Ia menilai persaudaraan antara insan manusia yang berbeda pandangan politik pun mampu dilakukan. Pandangan seperti ini patut untuk diperjuangan dan relevan dilakukan hingga saat ini.

“Dengan Ho dia (Bung Karno) menemukan sosok yang serupa dengan dirinya, sama-sama nasionalis tulen dan anti kolonialisme,” kata Yosef.

“Sementara dengan Kennedy, Bung Karno melihat sosok yang terbuka dan gentleman, ramah dalam pendekatan personal, mau mendengarkan namun tetap diplomatis dan saling menghormati.” sambung dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 21 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 21 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Kemendikbud Sebut Kuliah Bersifat Tersier, Pimpinan Komisi X: Tidak Semestinya Disampaikan

Kemendikbud Sebut Kuliah Bersifat Tersier, Pimpinan Komisi X: Tidak Semestinya Disampaikan

Nasional
Wapres Minta Alumni Tebuireng Bangun Konsep Besar Pembangunan Umat

Wapres Minta Alumni Tebuireng Bangun Konsep Besar Pembangunan Umat

Nasional
Khofifah-Emil Dardak Mohon Doa Menang Pilkada Jatim 2024 Usai Didukung Demokrat-Golkar

Khofifah-Emil Dardak Mohon Doa Menang Pilkada Jatim 2024 Usai Didukung Demokrat-Golkar

Nasional
Pertamina Raih Penghargaan di InaBuyer 2024, Kado untuk Kebangkitan UMKM

Pertamina Raih Penghargaan di InaBuyer 2024, Kado untuk Kebangkitan UMKM

Nasional
Soal Isu Raffi Ahmad Maju Pilkada 2024, Airlangga: Bisa OTW ke Jateng dan Jakarta, Kan Dia MC

Soal Isu Raffi Ahmad Maju Pilkada 2024, Airlangga: Bisa OTW ke Jateng dan Jakarta, Kan Dia MC

Nasional
Cegah MERS-CoV Masuk Indonesia, Kemenkes Akan Pantau Kepulangan Jemaah Haji

Cegah MERS-CoV Masuk Indonesia, Kemenkes Akan Pantau Kepulangan Jemaah Haji

Nasional
Dari 372 Badan Publik, KIP Sebut Hanya 122 yang Informatif

Dari 372 Badan Publik, KIP Sebut Hanya 122 yang Informatif

Nasional
Jemaah Haji Indonesia Kembali Wafat di Madinah, Jumlah Meninggal Dunia Menjadi 4 Orang

Jemaah Haji Indonesia Kembali Wafat di Madinah, Jumlah Meninggal Dunia Menjadi 4 Orang

Nasional
Hari Keenam Penerbangan, 34.181 Jemaah Haji tiba di Madinah

Hari Keenam Penerbangan, 34.181 Jemaah Haji tiba di Madinah

Nasional
Jokowi Bahas Masalah Kenaikan UKT Bersama Menteri Pekan Depan

Jokowi Bahas Masalah Kenaikan UKT Bersama Menteri Pekan Depan

Nasional
KIP: Indeks Keterbukaan Informasi Publik Kita Sedang-sedang Saja

KIP: Indeks Keterbukaan Informasi Publik Kita Sedang-sedang Saja

Nasional
Digelar di Bali Selama 8 Hari, Ini Rangkaian Kegiatan World Water Forum 2024

Digelar di Bali Selama 8 Hari, Ini Rangkaian Kegiatan World Water Forum 2024

Nasional
Golkar Resmi Usung Khofifah-Emil Dardak di Pilkada Jatim 2024

Golkar Resmi Usung Khofifah-Emil Dardak di Pilkada Jatim 2024

Nasional
Fahira Idris: Jika Ingin Indonesia Jadi Negara Maju, Kuatkan Industri Buku

Fahira Idris: Jika Ingin Indonesia Jadi Negara Maju, Kuatkan Industri Buku

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com