JAKARTA, KOMPAS.com — Pihak Komisi Pemberantasan Korupsi tidak hadir dalam sidang perdana gugatan praperadilan yang diajukan Ketua DPR Setya Novanto di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (30/11/2017).
Hal tersebut tampak dari bangku khusus untuk pihak termohon, dalam hal ini KPK, yang tampak kosong seluruhnya.
Padahal, hakim tunggal Kusno sudah memulai dan membuka jalannya persidangan dan memeriksa kehadiran para pihak.
"Pemohon hadir kuasanya ya," kata Kusno di ruang sidang utama PN Jakarta Selatan, Kamis siang.
Kemudian Kusno menerangkan bahwa pihak KPK tidak hadir. Menurut Kusno, sudah ada surat dari KPK yang ditujukan kepada pengadilan.
(Baca juga: Periksa Novanto, Pimpinan dan Tiga Anggota MKD Tiba di Gedung KPK)
Tetapi, dirinya meminta petugas pengadilan mencari pihak KPK yang barangkali ada di sekitar pengadilan.
"Termohon coba dipanggil, walaupun sudah berkirim surat, petugas coba dipanggil," ujar Kusno.
Sempat terdengar petugas yang menjalankan perintah hakim itu sampai berteriak di luar ruang persidangan. Namun, pihak KPK juga tidak muncul.
Seperti diketahui, Novanto mengajukan gugatan praperadilan pada 15 November 2017 lalu pascaditetapkan kembali menjadi tersangka di kasus e-KTP.
Praperadilan ini merupakan kali kedua untuk Novanto. Novanto pernah berhadapan dengan KPK di praperadilan sebelumnya. Di praperadilan sebelumnya, ia lolos dari status tersangka.
(Baca juga: Alasan PN Jaksel Pilih Hakim Kusno Pimpin Sidang Praperadilan Novanto)
KPK kemudian menetapkan Novanto menjadi tersangka di kasus yang sama lagi. Novanto menggugat lagi penetapan tersangka tersebut dengan praperadilan.
Dalam kasus e-KTP, KPK menduga Novanto bersama sejumlah pihak menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau korporasi.
Adapun sejumlah pihak itu antara lain Direktur Utama PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudihardjo, pengusaha Andi Agustinus atau Andi Narogong, dua mantan Pejabat Kemendagri Irman dan Sugiharto.
Novanto juga diduga menyalahgunakan kewenangan dan jabatan saat menjabat Ketua Fraksi Partai Golkar. Bersama sejumlah pihak tersebut, Novanto diduga ikut mengakibatkan kerugian negara Rp 2,3 triliun dari nilai paket Rp 5,9 triliun.
Novanto disangkakan melanggar Pasal 2 Ayat 1 Subsider Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.