Kekhawatiran akan nasib partai juga pernah diungkapkan Wakil Ketua Dewan Kehormatan Partai Golkar Akbar Tandjung.
(Baca juga: Akbar Tanjung Khawatir Golkar Kiamat Gara-gara Novanto)
Mantan Ketua Umum Partai Golkar itu mengaku sangat khawatir dengan kondisi partainya setelah Novanto ditetapkan sebagai tersangka untuk kedua kalinya.
Salah satu indikator yang digunakannya adalah hasil survei elektabilitas partai yang kian menurun.
Hasil survei, menurut dia, menyentuh angka 7 persen dan tak menutup kemungkinan akan terjadi lagi penurunan. Sementara ambang batas parlemen pada Undang-Undang Pemilu adalah 4 persen.
"Kalau di bawah 4 persen boleh dikatakan, ya, dalam bahasa saya, bisa terjadi kiamat di Partai Golkar ini," ucap Akbar.
Sementara itu, pengamat politik dari Lingkar Madani Indonesia (Lima), Ray Rangkuti, menilai hasil rapat pleno Golkar, Selasa malam, mengherankan. Sebab, ia menilai sikap Golkar terkait status hukum Novanto dan posisinya di Golkar akan memengaruhi calon-calon kepala daerah yang akan diusung pada pilkada serentak.
Padahal, Ray manambahkan, setidaknya Golkar bisa mengambil jalan tengah, yakni dengan menonaktifkan Novanto baru menunjuk pelaksana ketua umum.
"Penyebutan 'penonaktifan' itu penting agar ada pemisahan yang tegas antara masalah yang menimpa Setya Novanto dan Partai Golkar sebagai organisasi," ujar Ray saat dihubungi.
Jika langkah tersebut dilakukan, Ray menilai, Golkar bisa kembali memulihkan nama dan kepercayaan publik sekaligus menunjukkan sikap antikorupsi.
Menurut dia, di pengadilan nanti, hal yang berkaitan dengan Novanto sebagai ketua umum partai akan terus terbawa jika tak ada garis pemisah yang tegas antara Novanto yang sedang menghadapi kasus hukum dan Novanto sebagai ketua umum partai.
Hal itu dinilai membahayakan bagi keberlangsungan partai jelang pilkada serentak 2018 yang berlangsung awal tahun depan.
"Tentu sedikit banyak persoalan kasus yang sedang dialami Partai Golkar ini akan berpengaruh pada calon-calon kepala daerah yang mereka usung," katanya.