JAKARTA, KOMPAS.com — Setya Novanto tetap dipertahankan sebagai Ketua Umum Partai Golkar meski saat ini berstatus tersangka dan ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Tugas harian ketua umum akan dilaksanakan pelaksana tugas ketua umum, yakni Idrus Marham, yang ditunjuk melalui rapat pleno DPP Partai Golkar, Selasa (21/11/2017).
Keputusan tersebut diambil dalam rapat internal yang diwarnai perdebatan alot.
Dimulai sekitar pukul 13.30, rapat baru selesai sekitar pukul 21.30. Rapat itu diwarnai perdebatan yang cukup keras.
Ketua DPP Partai Golkar Agus Gumiwang, misalnya, menyampaikan bahwa sejumlah pengurus ingin mempertahankan Novanto.
(Baca juga: Calon Peserta Pilkada Diprediksi Berpikir Ulang Mau Melamar ke Golkar)
Sementara ada pula pengurus lain yang ingin agar kepemimpinan dievaluasi dan musyawarah nasional luar biasa (munaslub) segera digelar.
"Memang ada yang (mau) mempertahankan Novanto dan ada juga yang minta sudah waktunya Partai Golkar melakukan tindakan," kata Agus, Selasa sore.
Di sisi lain, Wakil Sekretaris Jenderal DPP Partai Golkar Mukhamad Misbakhun saat itu mengatakan bahwa tak ada pembicaraan mengenai pemberhentian Novanto.
Pembicaraan yang ada menurut dia adalah tentang bagaimana pelaksana tugas menjalankan tugasnya sesuai tata organisasi yang ada.
"Semua tidak ada berbicara mengenai pemberhentian dan sebagainya," ujar Misbakhun.
(Baca juga: Idrus Jabat Plt Ketum Golkar sampai Putusan Praperadilan Setya Novanto)
Dalam rapat tersebut juga dibacakan surat berisi permintaan Novanto menunjuk Sekjen Partai Golkar Idrus Marham sebagai pelaksana tugas ketua umum.
Maka, Koordinator Bidang Pemenangan Pemilu Partai Golkar Yahya Zaini menuturkan, status Novanto nantinya tetap sebagai ketua umum.
"Tetap ketum, kan (pelaksana tugas), sifatnya sementara," ucap Yahya.
Keputusan pun diambil, rapat sepakat menunggu hasil praperadilan yang diajukan Novanto. Jika gugatan ditolak, munaslub akan digelar untuk memilih ketua umum baru.
Namun, jika Novanto memenangi gugatan praperadilan, ia akan kembali menjadi ketua umum.
(Baca juga: Dibandingkan Percepat Pemberkasan, KPK Pilih Kuatkan Bukti Seret Novanto)
"Tentu kami berharap praperadilan ketua umum berhasil. Tetapi, jika tidak, kami sudah lakukan antisipasi-antisipasi yang membuktikan bahwa Golkar menyelesaikan masalah secara dewasa dan produktif," ujar Idrus Marham seusai ditunjuk sebagai plt ketum, Selasa malam.
Hasil tersebut sekaligus mengamankan posisi Novanto sebagai Ketua DPR. Ketua Harian DPP Partai Golkar Nurdin Halid saat membacakan kesimpulan rapat menyampaikan bahwa posisi tersebut akan dibicarakan setelah hasil praperadilan keluar.
"Posisi Setya Novanto sebagai Ketua DPR menunggu keputusan praperadilan," ujar Nurdin.
Di ambang kiamat
Beberapa pihak kecewa terhadap hasil rapat tersebut. Inisiator Generasi Muda Partai Golkar (GMPG) Mirwan Bz Vauly menuturkan, rapat tersebut sedianya bisa menjadi momentum baik memotong mata rantai korupsi.
Menurut dia, hasil tersebut menunjukkan bahwa partai lemah di hadapan Novanto.
"Untuk kesekian kalinya Golkar kalah melawan Setya Novanto. Sekali lagi, Partai Golkar sukses diperdayai dengan dalil-dalil kepastian hukum, sementara ketajaman mata akal sehat politik itu jauh melampaui dalil-dalil hukum," kata Mirwan.
Sementara itu, mantan Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Partai Golkar Yorrys Raweyai menilai Golkar wajib segera menggelar munaslub.
Sebab, pendaftaran calon legislatif dan pencalonan presiden pada Pemilu 2019 mengharuskan adanya tanda tangan ketua umum partai definitif.
"Di dalam Undang-Undang Pemilu yang baru, yang menandatangani untuk caleg dan capres harus ketua umum dan sekjen. Sementara untuk pilkada boleh kolektif, yang penting terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM," ujar Yorrys.
(Baca juga: Generasi Muda Golkar: Jangan Tunjuk Orang Dekat Novanto Jadi Plt Ketum)
Jika munaslub tak segera dilakukan, menurut Yorrys, Partai Golkar tak akan lagi menjadi partai besar pada Pemilu 2019.
"Pertama, Setya Novanto harus diberhentikan. Kedua, mempersiapkan munaslub," ucap Yorrys.
Kekhawatiran akan nasib partai juga pernah diungkapkan Wakil Ketua Dewan Kehormatan Partai Golkar Akbar Tandjung.
(Baca juga: Akbar Tanjung Khawatir Golkar Kiamat Gara-gara Novanto)
Mantan Ketua Umum Partai Golkar itu mengaku sangat khawatir dengan kondisi partainya setelah Novanto ditetapkan sebagai tersangka untuk kedua kalinya.
Salah satu indikator yang digunakannya adalah hasil survei elektabilitas partai yang kian menurun.
Hasil survei, menurut dia, menyentuh angka 7 persen dan tak menutup kemungkinan akan terjadi lagi penurunan. Sementara ambang batas parlemen pada Undang-Undang Pemilu adalah 4 persen.
"Kalau di bawah 4 persen boleh dikatakan, ya, dalam bahasa saya, bisa terjadi kiamat di Partai Golkar ini," ucap Akbar.
Sementara itu, pengamat politik dari Lingkar Madani Indonesia (Lima), Ray Rangkuti, menilai hasil rapat pleno Golkar, Selasa malam, mengherankan. Sebab, ia menilai sikap Golkar terkait status hukum Novanto dan posisinya di Golkar akan memengaruhi calon-calon kepala daerah yang akan diusung pada pilkada serentak.
Padahal, Ray manambahkan, setidaknya Golkar bisa mengambil jalan tengah, yakni dengan menonaktifkan Novanto baru menunjuk pelaksana ketua umum.
"Penyebutan 'penonaktifan' itu penting agar ada pemisahan yang tegas antara masalah yang menimpa Setya Novanto dan Partai Golkar sebagai organisasi," ujar Ray saat dihubungi.
Jika langkah tersebut dilakukan, Ray menilai, Golkar bisa kembali memulihkan nama dan kepercayaan publik sekaligus menunjukkan sikap antikorupsi.
Menurut dia, di pengadilan nanti, hal yang berkaitan dengan Novanto sebagai ketua umum partai akan terus terbawa jika tak ada garis pemisah yang tegas antara Novanto yang sedang menghadapi kasus hukum dan Novanto sebagai ketua umum partai.
Hal itu dinilai membahayakan bagi keberlangsungan partai jelang pilkada serentak 2018 yang berlangsung awal tahun depan.
"Tentu sedikit banyak persoalan kasus yang sedang dialami Partai Golkar ini akan berpengaruh pada calon-calon kepala daerah yang mereka usung," katanya.