JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun menyebutkan, anggota DPR memang memiliki hak imunitas yang melekat.
Hal itu juga diatur dalam Pasal 224 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3.
Namun, aturan tersebut dinilai tak berlaku untuk kasus korupsi.
"Hak imunitas tidak pernah berlaku untuk kasus korupsi, apalagi kasus korupsi yang disidik oleh KPK," kata Refly, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (14/11/2017).
Ia mengatakan, hak imunitas merupakan kekebalan tertentu bagi anggota DPR untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya.
Baca: Menelusuri Dugaan Aliran Uang Proyek E-KTP untuk Setya Novanto
Akan tetapi, ada pengecualiannya. Hak imunitas tak berlaku terhadap hal-hal tertentu yang dilanggar.
Refly mengatakan, hal tersebut berkaitan dengan alasan Ketua DPR RI Setya Novanto tak menghadiri panggilan sebagai saksi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus dugaan korupsi pengadaan KTP elektronik atau e-KTP.
Dalam suratnya kepada KPK, Novanto menggunakan aturan Pasal 20A huruf (3) UUD 1945 sebagai alasan untuk mangkir. Pasal itu mengatur hak imunitas anggota DPR.
Selain itu, Novanto juga beralasan dengan menggunakan Pasal 80 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 mengenai Hak Anggota Dewan, huruf (h) terkait imunitas. Pasal itu dijadikan alasan untuk mangkir dari panggilan.
"Jadi kalau ada anggota DPR, termasuk ketua DPR diduga melakukan tindak pidana korupsi maka sama sekali tidak ada berlaku hak imunitas di sana," kata dia.
Baca: Rekaman Johannes Marliem Diputar, Setya Novanto Disebut Terima Uang
Refly mengatakan, seharusnya, sebagai Ketua DPR, Novanto memberikan contoh positif kepada masyarakat dengan datang ke KPK dan memberikan keterangan, baik sebagai saksi maupun tersangka kasus e-KTP.
Bukan justru berlindung di balik prosedur dan hak imunitas. Adapun prosedur yang dimaksud adalah harus izin presiden.
"Padahal baik hak imunitas maupun izin dari presiden tidak berlaku untuk kasus korupsi yang dikategorikan sebagai kejahatan khusus atau extraordinary crime," ujar dia.