Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Persempit Ruang Praperadilan Novanto, KPK Diminta Gerak Cepat

Kompas.com - 10/11/2017, 20:01 WIB
Moh. Nadlir

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Oce Madril mengatakan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus bergerak cepat untuk melimpahkan perkara kasus Ketua DPR RI Setya Novanto ke persidangan.

Langkah itu perlu dilakukan KPK usai kembali menetapkan Novanto sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi proyek pengadaan kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP).

"Kalau KPK memang sudah yakin dengan alat bukti yang mereka punya usai menetapkan lagi Novanto sebagai tersangka, segera saja ajukan ke persidangan," kata Oce ketika ditemui di Hotel Aston Jember, Jawa Timur, Jumat (10/11/2017).

Menurut Oce, dengan dilimpahkannya bukti-bukti tersebut ke persidangan. Maka hal itu akan mempersempit ruang Novanto untuk kembali melakukan praperadilan penetapan tersangkanya.

"Mempersempit ruang itu. Kalau alat bukti sudah cukup, tentu akan lebih baik dilimpahkan ke pengadilan. Supaya kasus ini tidak terkatung-katung, supaya segera ada kepastian bagi publik dan bagi Novanto dan KPK juga," kata Oce.

"Maka segera limpahkan saja perkaranya ke persidangan. Supaya nanti pokok perkara itu betul-betul dibuka di sidang dan pihak Novanto berkesempatan di situ bisa membela," ucap dia.

(Baca juga: Tetapkan Setya Novanto sebagai Tersangka, KPK Diminta Berhati-hati)

Oce pun menilai, pada penetapan Novanto yang pertama, KPK terlalu lama melimpahkan berkas perkara Ketua Umum Partai Golkar itu ke persidangan. Alhasil, Novanto mengajukan praperadilan dan akhirnya menang melawan lembaga antirasuah itu.

"Sebelumnya lebih lama. Ya sekarang kalau alat bukti terkumpul sudah banyak, tentu enggak ada alasan juga untuk menunda pelimpahan ke pengadilan. Kalau menunggu (terlalu lama) bisa praperadilan lagi," kata dia.

Oce juga menambahkan, dengan dilimpahkan ke pengadilan secara cepat, maka jika Novanto kembali mengajukan praperadilan, otomatis praperadilan tersebut akan gugur dengan sendirinya.

"Kalau sudah dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor ya praperadilannya gugur. Karena kesempatan dia (Novanto) hilang. Kesempatan Novanto berikutnya adalah di pengadilan Tipikor untuk membela diri," kata Oce.

"Jadi ini mempercepat penyelesaian kasus e-KTP. Kalau diajukan ke sidang kan berarti kasus ini berjalan terus. Alat bukti yang ada dihadirkan, biar majelis hakim yang menilai nanti," tutur dia.

(Baca juga: Setelah Menetapkan Tersangka, Akankan KPK Tahan Setya Novanto?)

KPK kembali mengumumkan penetapan Novanto sebagai tersangka pada Jumat sore ini. Ketua Umum Partai Golkar itu kembali dijerat dalam kasus korupsi proyek pengadaan e-KTP.

Pengumuman penetapan Novanto sebagai tersangka itu disampaikan Wakil Ketua KPK Saut Situmorang, dalam jumpa pers di gedung KPK, Kuningan, Jakarta, Jumat (10/11/2017).

"Setelah proses penyelidikan dan terdapat bukti permulaan yang cukup dan melakukan gelar perkara akhir Oktober 2017, KPK menerbitkan surat perintah penyidikan pada 31 Oktober 2017 atas nama tersangka SN, anggota DPR RI," kata Saut.

Dalam kasus ini, Novanto disangkakan melanggar Pasal 2 Ayat 1 Subsider Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Novanto sebelumnya lolos dari status tersangka dalam penetapan sebelumnya, setelah memenangi gugatan praperadilan terhadap KPK.

Kompas TV KPK menerbitkan SPDP pada 31 Oktober 2017 atas nama SN.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Waketum Gerindra Nilai Eko Patrio Pantas Jadi Menteri Prabowo-Gibran

Waketum Gerindra Nilai Eko Patrio Pantas Jadi Menteri Prabowo-Gibran

Nasional
MKD Temukan 3 Kasus Pelat Nomor Dinas DPR Palsu, Akan Koordinasi dengan Polri

MKD Temukan 3 Kasus Pelat Nomor Dinas DPR Palsu, Akan Koordinasi dengan Polri

Nasional
Paradoks Sejarah Bengkulu

Paradoks Sejarah Bengkulu

Nasional
Menteri PPN: Hak Milik atas Tanah di IKN Diperbolehkan

Menteri PPN: Hak Milik atas Tanah di IKN Diperbolehkan

Nasional
Menkes: Indonesia Kekurangan 29.000 Dokter Spesialis, Per Tahun Cuma Produksi 2.700

Menkes: Indonesia Kekurangan 29.000 Dokter Spesialis, Per Tahun Cuma Produksi 2.700

Nasional
Kepala Bappenas: Progres Pembangunan IKN Tahap 1 Capai 80,82 Persen

Kepala Bappenas: Progres Pembangunan IKN Tahap 1 Capai 80,82 Persen

Nasional
Hakim MK Cecar KPU RI Soal Ubah Aturan Tenggat Waktu Rekapitulasi Suara Pileg

Hakim MK Cecar KPU RI Soal Ubah Aturan Tenggat Waktu Rekapitulasi Suara Pileg

Nasional
Pakar Hukum: PTUN Bisa Timbulkan Preseden Buruk jika Kabulkan Gugatan PDI-P

Pakar Hukum: PTUN Bisa Timbulkan Preseden Buruk jika Kabulkan Gugatan PDI-P

Nasional
Gerindra: Pak Prabowo Bisa Jadi Presiden Terpilih berkat Doa PKS Sahabat Kami

Gerindra: Pak Prabowo Bisa Jadi Presiden Terpilih berkat Doa PKS Sahabat Kami

Nasional
Pakai Pelat Palsu Anggota DPR, Pemilik Alphard dalam Kasus Brigadir RAT Bakal Dipanggil MKD

Pakai Pelat Palsu Anggota DPR, Pemilik Alphard dalam Kasus Brigadir RAT Bakal Dipanggil MKD

Nasional
Jokowi Soroti Banyak Program Pemerintah Pusat dan Daerah yang Tak Sinkron

Jokowi Soroti Banyak Program Pemerintah Pusat dan Daerah yang Tak Sinkron

Nasional
KPK Tak Hadir, Sidang Gugatan Status Tersangka Gus Muhdlor Ditunda

KPK Tak Hadir, Sidang Gugatan Status Tersangka Gus Muhdlor Ditunda

Nasional
Sebut Prabowo Tak Miliki Hambatan Psikologis Bertemu PKS, Gerindra: Soal Teknis Saja

Sebut Prabowo Tak Miliki Hambatan Psikologis Bertemu PKS, Gerindra: Soal Teknis Saja

Nasional
Saat Jokowi Pura-pura Jadi Wartawan lalu Hindari Sesi 'Doorstop' Media...

Saat Jokowi Pura-pura Jadi Wartawan lalu Hindari Sesi "Doorstop" Media...

Nasional
Dampak UU DKJ, Usia Kendaraan di Jakarta Bakal Dibatasi

Dampak UU DKJ, Usia Kendaraan di Jakarta Bakal Dibatasi

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com