Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kirim Surat Ke KPK, Plt Sekjen DPR Bantah Lindungi Novanto

Kompas.com - 06/11/2017, 17:19 WIB
Nabilla Tashandra

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Pelaksana tugas Sekretaris Jenderal DPR RI Damayanti membantah jika pihaknya melindungi Ketua DPR RI Setya Novanto untuk tak memenuhi panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

"Enggak, enggak ada," ujar Damayanti saat ditemui di Gedung Sekretariat Jenderal DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (6/11/2017).

KPK memanggil Ketua DPR RI Setya Novanto, Senin (6/11/2017), untuk diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi proyek e-KTP.

Merespons panggilan ini, DPR mengirimkan surat kepada KPK yang menyatakan bahwa pemanggilan Novanto perlu izin dari presiden.

(Baca juga : Dimintai Izin Presiden untuk Panggil Setya Novanto, Ini Tanggapan KPK)

Damayanti menjelaskan, dirinya sebagai Plt Sekjen DPR hanya meneruskan surat secara administratif.

Dirinya dihubungi oleh Kepala Biro Pimpinan DPR bahwa ada surat panggilan dari KPK untuk Novanto.

Namun, di sisi lain ada putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa pemanggilan Novanto perlu izin presiden.

Ia meyakini tim biro pimpinan sudah memiliki kajian hukum tentang itu sehingga tak akan asal-asalan dalam membuat surat.

"Kami buat suratnya. Saya kirimin, sudah, enggak ada masalah. Itu saja," tuturnya.

Kompas TV Sidang kasus e-KTP dengan terdakwa Andi Agustinus alias Andi Narogong kembali digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.

 

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil Ketua DPR RI Setya Novanto, Senin (6/11/2017), untuk diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi proyek e-KTP.

Merespons panggilan ini, DPR mengirimkan surat kepada KPK yang menyatakan bahwa pemanggilan Novanto perlu izin dari Presiden.

KPK sebelumnya memanggil Novanto untuk diperiksa dalam kapasitas sebagai saksi bagi Direktur Utama PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudiharjo, salah satu tersangka kasus e-KTP.

Nama Setya Novanto muncul dalam persidangan kasus e-KTP, untuk terdakwa Andi Agustinus alias Andi Narogong, Jumat (3/11/2017).

Adapun aturan mengenai pemanggilan anggota DPR tersebut pernah diuji ke Mahkamah Konstitusi.

Ketentuan itu tercantum pada pasal 245 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) yang mengatur, "Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan".

Pada surat dari DPR RI ditegaskan juga berdasarkan Putusan MK Nomor 76/PUU-XII/2014 tanggal 22 September 2015 maka wajib hukumnya setiap penyidik yang akan memanggil anggota DPR RI harus mendapat persetujuan tertulis dari Presiden terlebih dahulu.

Namun, Pakar Tata Hukum Negara Refly Harun menilai Novanto telah melakukan blunder.

Sebab, dalam pada Pasal 245 ayat (3) huruf c disebutkan bahwa ketentuan pada ayat (1) tidak berlaku terhadap anggota DPR yang disangka melakukan tindak pidana khusus.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Tanggal 19 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 19 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Tanggal 18 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 18 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Di Sidang SYL, Saksi Akui Ada Pembelian Keris Emas Rp 105 Juta Pakai Anggaran Kementan

Di Sidang SYL, Saksi Akui Ada Pembelian Keris Emas Rp 105 Juta Pakai Anggaran Kementan

Nasional
Dede Yusuf Minta Pemerintah Perketat Akses Anak terhadap Gim Daring

Dede Yusuf Minta Pemerintah Perketat Akses Anak terhadap Gim Daring

Nasional
Mesin Pesawat Angkut Jemaah Haji Rusak, Kemenag Minta Garuda Profesional

Mesin Pesawat Angkut Jemaah Haji Rusak, Kemenag Minta Garuda Profesional

Nasional
Anggota Fraksi PKS Tolak Presiden Bebas Tentukan Jumlah Menteri: Nanti Semaunya Urus Negara

Anggota Fraksi PKS Tolak Presiden Bebas Tentukan Jumlah Menteri: Nanti Semaunya Urus Negara

Nasional
Usai Operasi di Laut Merah, Kapal Perang Belanda Tromp F-803 Merapat di Jakarta

Usai Operasi di Laut Merah, Kapal Perang Belanda Tromp F-803 Merapat di Jakarta

Nasional
Kriteria KRIS, Kemenkes: Maksimal 4 Bed Per Ruang Rawat Inap

Kriteria KRIS, Kemenkes: Maksimal 4 Bed Per Ruang Rawat Inap

Nasional
Soroti DPT Pilkada 2024, Bawaslu: Pernah Kejadian Orang Meninggal Bisa Memilih

Soroti DPT Pilkada 2024, Bawaslu: Pernah Kejadian Orang Meninggal Bisa Memilih

Nasional
Direktorat Kementan Siapkan Rp 30 Juta Tiap Bulan untuk Keperluan SYL

Direktorat Kementan Siapkan Rp 30 Juta Tiap Bulan untuk Keperluan SYL

Nasional
Setuju Sistem Pemilu Didesain Ulang, Mendagri: Pilpres dan Pileg Dipisah

Setuju Sistem Pemilu Didesain Ulang, Mendagri: Pilpres dan Pileg Dipisah

Nasional
Menko Airlangga: Kewajiban Sertifikasi Halal Usaha Menengah dan Besar Tetap Berlaku 17 Oktober

Menko Airlangga: Kewajiban Sertifikasi Halal Usaha Menengah dan Besar Tetap Berlaku 17 Oktober

Nasional
Serius Transisi Energi, Pertamina Gandeng KNOC dan ExxonMobil Kembangkan CCS

Serius Transisi Energi, Pertamina Gandeng KNOC dan ExxonMobil Kembangkan CCS

Nasional
Bawaslu Akui Kesulitan Awasi 'Serangan Fajar', Ini Sebabnya

Bawaslu Akui Kesulitan Awasi "Serangan Fajar", Ini Sebabnya

Nasional
Kontras Desak Jokowi dan Komnas HAM Dorong Kejagung Selesaikan Pelanggaran HAM Berat Secara Yudisial

Kontras Desak Jokowi dan Komnas HAM Dorong Kejagung Selesaikan Pelanggaran HAM Berat Secara Yudisial

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com