JAKARTA, KOMPAS.com — Direktur LBH Pers Nawawi Bahrudin berpendapat, fenomena keriuhan meme Ketua DPR Setya Novanto di media sosial bukan berdiri sendiri.
Fenomena itu terkait erat dengan persepsi masyarakat terhadap pejabat publik yang dinilai korup dan sistem hukum di Tanah Air yang seolah-olah tidak berdaya oleh korupsi.
"Penyebaran meme (Setya Novanto) bukanlah tiba-tiba muncul. Meme itu bisa dianggap salah satu bentuk kritik masyarakat atau netizen terhadap sistem hukum yang seolah-olah tidak berdaya oleh korupsi," ujar Nawawi dalam konferensi pers di Jakarta, Minggu (5/11/2017).
(baca: Polisi Diminta Hentikan Proses Hukum Penyebar Meme Novanto)
Nawawi menyinggung status Novanto yang merupakan bekas tersangka perkara dugaan korupsi proyek e-KTP.
Dalam proses perkaranya, lanjut Nawawi, KPK pernah memanggil Novanto dua kali. Namun, Ketua DPR itu tidak pernah memenuhi panggilan karena alasan sakit.
Di tengah pengakuan sakitnya itu, beredar sebuah foto Novanto berbaring di ruang perawatan dengan sejumlah peralatan perawatan.
Saat itulah muncul foto Novanto yang diubah macam-macam oleh netizen.
"Kekecewaan masyarakat dan netizen terhadap penegakan hukum semakin meningkat ketika seakan-akan hukum tak berdaya dan kemudian tersebar gambar-gambar satir atau meme yang dianggap menghina Setnov," ujar Nawawi.
(baca: Novanto Ingin Polisi Tuntaskan Proses Hukum soal Meme Dirinya)
Namun, beberapa waktu setelah itu, hakim praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan membatalkan status tersangka Novanto.
Penetapan tersangka oleh KPK dianggap tak sah.
Kemudian muncul lagi foto Novanto sedang main tenis meja. Foto ini kembali mengoyak rasa keadilan publik.
"Akhirnya, meme itu dianggap sebagian masyarakat menjadi simbol kritik dan perlawanan akan ketidakberdayaan aparat penegak hukum terhadap korupsi," ujar Nawawi.
Oleh sebab itu, menurut Nawawi, semestinya polisi tak menerima laporan dari pihak Novanto begitu saja. Polisi harus melihat konteks sosial munculnya fenomena meme Novanto tersebut.