Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Verrianto Madjowa
Penulis

Pengamat kelautan dan perikanan. Menulis buku tentang Kelautan dan Perikanan, Bunaken, Tambang (2001), Open Data Pemilu (2015), Pemilu Gorontalo (2015), dan sejarah Gorontalo.

Diaspora Nelayan Filipina di Bitung

Kompas.com - 24/10/2017, 06:34 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorLaksono Hari Wiwoho

TIGA tahun terakhir, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menyampaikan tentang adanya praktik sejumlah nelayan Filipina yang menggunakan kartu tanda penduduk (KTP) Indonesia.

Itu antara lain disampaikannya dalam kegiatan kunjungan kerja di Maluku Tengah, Minggu (22/10/2017) kemarin.

Para nelayan Filipina itu bekerja di Ambon dengan menggunakan KTP dari Kota Bitung, Provinsi Sulawesi Utara.

Dalam beberapa kesempatan pada 2015 dan 2016, baik di daerah maupun di Jakarta, Menteri Susi mengatakan bahwa cukup banyak nelayan asal Filipina tinggal di Bitung yang memiliki KTP Bitung.

Kementerian sudah menyelidiki kasus tersebut. Nelayan Filipina itu datang ke Bitung untuk mencari ikan di perairan Indonesia.

Siapakah nelayan Filipina di Bitung? Apakah keliru seorang warga negara asing memegang KTP Indonesia (Bitung)?

Pada Agustus hingga September 2005, saya pernah ke Mindanao, bertemu dan bincang-bincang dengan beberapa warga keturunan Sangihe Talaud yang sudah lama menetap di sana.

Waktu itu, Konsul Jenderal RI di Davao, Ikon Mochamad Entjeng, mengatakan bahwa tercatat 7.794 warga Indonesia, yang kebanyakan keturunan Sangihe dan Talaud, bermukim di Mindanao. Masih banyak warga keturunan Sangihe dan Talaud yang tidak tercatat dan sudah lama bermukim di Filipina.

Sebagian besar warga keturunan ini tak memiliki dokumen keimigrasian. Mereka merantau dengan bekal keterampilan seadanya. Tiba di Filipina, mereka bekerja sebagai pemanjat pohon kelapa, buruh gudang, dan nelayan.

Karena tak memiliki dokumen keimigrasian, warga Sangihe dan Talaud ini disebut undocumented citizens. Namun, banyak di antara mereka yang telah kawin-mawin dengan warga Filipina.

Biasanya, bila ada tindakan kriminal, orang Indonesia yang tak memiliki dokumen legal di Filipina ini kerap dijadikan tumbal. Karena itu, untuk membenahi permasalahan tersebut, Konsulat Jenderal Indonesia melakukan program melegalkan kewarganegaraan yang masih ilegal.

Ketika itu, pemerintah Indonesia melalui Departemen Luar Negeri membantu biaya pengurusan dokumen keimigrasian dengan dana sebesar 48.000 dollar AS. Dana ini digunakan bagi WNI yang tidak mampu membayar biaya pengurusan dokumen dan sudah lama menetap di Mindanao.

Selanjutnya, bila warga Indonesia ini sudah memiliki legalisasi, ketrampilannya akan diasah dan ditingkatkan. Konsulat Jenderal juga telah merintis kerja sama dengan Balai Latihan kerja untuk menambah keterampilan mereka.              

Bagaimana dengan Kota Bitung? Apakah nelayan yang disebut berasal dari Filipina tersebut adalah keturunan Sangihe dan Talaud yang sudah lama bermukim di sana dan tidak memiliki dokumen keimigrasian?

Baca juga : Datang Ilegal, 22 WN Filipina di Bitung Ini Ditangkap

Ini yang perlu menjadi catatan. Tidak hanya menyebut nelayan Filipina, tapi perlu diketahui asal-usulnya.               

Undang-Undang Nomor 24 tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan (perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2006) sebenarnya memberikan kelonggaran pengurusan dokumen kependudukan.

Pasal 63  ayat (1) menyebutkan bahwa warga negara Indonesia dan orang asing yang memiliki izin tinggal tetap yang telah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau telah kawin atau pernah kawin wajib memiliki KTP elektronik.

Selanjutnya, pada ayat (4), orang asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melaporkan perpanjangan masa berlaku atau mengganti KTP elektronik kepada instansi pelaksana paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal masa berlaku izin tinggal tetap berakhir.

Dengan demikian, sesuai UU ini warga negara asing dapat memiliki KTP elektronik jika prosedur administrasi keimigrasian terpenuhi.

KTP elektronik bagi warga negara asing (WNA) dibatasi izin tinggal, sedangkan bagi warga negara Indonesia (WNI) berlaku seumur hidup. Ini yang membedakan KTP elektronik bagi WNI dan WNA.

Dalam hal pemutakhiran data pemilih, perbedaan KTP elektronik WNI dan WNA ini juga perlu dicermati petugas. Jangan sampai WNA ini masuk dalam daftar pemilih, atau datang ke tempat pemungutan suara dengan menggunakan KTP elektronik. Begitu pula dengan KTP palsu bila digunakan saat hari pemungutan suara.

Yang menjadi persoalan lainnya apabila nelayan dari Filipina ini adalah keturunan Sangihe Talaud yang sudah lama bermukim di sana dan tidak memiliki dokumen keimigrasian. Mereka ini tentunya akan sulit melaporkan peristiwa kependudukan ketika mulai bekerja di Bitung.

Dari sejumlah pemberitaan tentang adanya diaspora nelayan warga negara Filipina di Bitung, belum ada yang menyebutkan bahwa nelayan ini memang benar-benar berasal dari Filipina atau keturunan Sangihe dan Talaud yang sudah lama bermukim di Filipina.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 22 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 22 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Veteran Perang Jadi Jemaah Haji Tertua, Berangkat di Usia 110 Tahun

Veteran Perang Jadi Jemaah Haji Tertua, Berangkat di Usia 110 Tahun

Nasional
Salim Said Meninggal Dunia, PWI: Indonesia Kehilangan Tokoh Pers Besar

Salim Said Meninggal Dunia, PWI: Indonesia Kehilangan Tokoh Pers Besar

Nasional
Indonesia Perlu Kembangkan Sendiri 'Drone AI' Militer Untuk Cegah Kebocoran Data

Indonesia Perlu Kembangkan Sendiri "Drone AI" Militer Untuk Cegah Kebocoran Data

Nasional
Tokoh Pers Salim Said Meninggal Dunia

Tokoh Pers Salim Said Meninggal Dunia

Nasional
Sekjen PBB: Yusril Akan Mundur dari Ketum, Dua Nama Penggantinya Mengerucut

Sekjen PBB: Yusril Akan Mundur dari Ketum, Dua Nama Penggantinya Mengerucut

Nasional
Sekjen DPR Gugat Praperadilan KPK ke PN Jaksel

Sekjen DPR Gugat Praperadilan KPK ke PN Jaksel

Nasional
Gaduh Kenaikan UKT, Pengamat: Jangan Sampai Problemnya di Pemerintah Dialihkan ke Kampus

Gaduh Kenaikan UKT, Pengamat: Jangan Sampai Problemnya di Pemerintah Dialihkan ke Kampus

Nasional
15 Tahun Meneliti Drone AI Militer, 'Prof Drone UI' Mengaku Belum Ada Kerja Sama dengan TNI

15 Tahun Meneliti Drone AI Militer, "Prof Drone UI" Mengaku Belum Ada Kerja Sama dengan TNI

Nasional
Pengembangan Drone AI Militer Indonesia Terkendala Ketersediaan 'Hardware'

Pengembangan Drone AI Militer Indonesia Terkendala Ketersediaan "Hardware"

Nasional
Indonesia Harus Kembangkan 'Drone AI' Sendiri untuk TNI Agar Tak Bergantung ke Negara Lain

Indonesia Harus Kembangkan "Drone AI" Sendiri untuk TNI Agar Tak Bergantung ke Negara Lain

Nasional
Tak Kunjung Tegaskan Diri Jadi Oposisi, PDI-P Dinilai Sedang Tunggu Hubungan Jokowi dan Prabowo Renggang

Tak Kunjung Tegaskan Diri Jadi Oposisi, PDI-P Dinilai Sedang Tunggu Hubungan Jokowi dan Prabowo Renggang

Nasional
Tingkatkan Kapasitas SDM Kelautan dan Perikanan ASEAN, Kementerian KP Inisiasi Program Voga

Tingkatkan Kapasitas SDM Kelautan dan Perikanan ASEAN, Kementerian KP Inisiasi Program Voga

Nasional
9 Eks Komisioner KPK Surati Presiden, Minta Jokowi Tak Pilih Pansel Problematik

9 Eks Komisioner KPK Surati Presiden, Minta Jokowi Tak Pilih Pansel Problematik

Nasional
Tak Undang Jokowi di Rakernas, PDI-P Pertegas Posisinya Menjadi Oposisi

Tak Undang Jokowi di Rakernas, PDI-P Pertegas Posisinya Menjadi Oposisi

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com