Undang-Undang Nomor 24 tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan (perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2006) sebenarnya memberikan kelonggaran pengurusan dokumen kependudukan.
Pasal 63 ayat (1) menyebutkan bahwa warga negara Indonesia dan orang asing yang memiliki izin tinggal tetap yang telah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau telah kawin atau pernah kawin wajib memiliki KTP elektronik.
Selanjutnya, pada ayat (4), orang asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melaporkan perpanjangan masa berlaku atau mengganti KTP elektronik kepada instansi pelaksana paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal masa berlaku izin tinggal tetap berakhir.
Dengan demikian, sesuai UU ini warga negara asing dapat memiliki KTP elektronik jika prosedur administrasi keimigrasian terpenuhi.
KTP elektronik bagi warga negara asing (WNA) dibatasi izin tinggal, sedangkan bagi warga negara Indonesia (WNI) berlaku seumur hidup. Ini yang membedakan KTP elektronik bagi WNI dan WNA.
Dalam hal pemutakhiran data pemilih, perbedaan KTP elektronik WNI dan WNA ini juga perlu dicermati petugas. Jangan sampai WNA ini masuk dalam daftar pemilih, atau datang ke tempat pemungutan suara dengan menggunakan KTP elektronik. Begitu pula dengan KTP palsu bila digunakan saat hari pemungutan suara.
Yang menjadi persoalan lainnya apabila nelayan dari Filipina ini adalah keturunan Sangihe Talaud yang sudah lama bermukim di sana dan tidak memiliki dokumen keimigrasian. Mereka ini tentunya akan sulit melaporkan peristiwa kependudukan ketika mulai bekerja di Bitung.
Dari sejumlah pemberitaan tentang adanya diaspora nelayan warga negara Filipina di Bitung, belum ada yang menyebutkan bahwa nelayan ini memang benar-benar berasal dari Filipina atau keturunan Sangihe dan Talaud yang sudah lama bermukim di Filipina.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.