Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Anggaran dan Alasan Pembentukan Densus Tipikor Polri Dipertanyakan

Kompas.com - 16/10/2017, 07:29 WIB
Kristian Erdianto

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Rencana pembentukan Detasemen Khusus (Densus) Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Polri menuai kritik dari kalangan akademisi.

Meski Polri meyakini pembentukan Densus Tipikor akan memperkuat penanganan perkara korupsi oleh Direktorat Tindak Pidana Korupsi (Dittipikor), rencana tersebut tetap dipertanyakan. 

Peneliti dari Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FHUI) Adery Ardhan menilai, ada sejumlah kejanggalan dalam rencana pembentukan Densus Tipikor yang harus segera dijawab oleh Kepala Kepolisian RI (Kapolri) Jenderal Pol Tito Karnavian.

Dalam rapat kerja bersama Komisi III DPR, Kamis (12/10/2017) Tito menyampaikan pembentukan Densus Tipikor membutuhkan anggaran sebesar Rp 2,6 triliun.

Baca: Mencontoh KPK, Kapolri Ingin Penyidik dan Jaksa Satu Atap di Densus Tipikor

Tito merinci total anggaran tersebut untuk belanja pegawai 3.560 personel sekitar Rp 786 miliar, belanja barang sekitar Rp 359 miliar, dan belanja modal Rp 1,55 triliun.

Menurut Adery, jika Kapolri ingin menunjukkan komitmennya dalam memberantas korupsi, seharusnya pengajuan anggaran digunakan untuk memperkuat Dittipikor yang sudah ada.

"Mengapa anggaran sebesar 2,6 triliun bukannya diberikan kepada Dittipikor, namun malah membentuk organisasi baru yakni Densus Tipikor," kata Adery dalam sebuah diskusi terkait pembentukan Densus Tipikor Polri di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (15/10/2017).

"Kapolri seharusnya menjelaskan mengapa Dittipikor saat ini tidak berjalan secara efektif, sehingga diperlukan detasemen khusus untuk tindak pidana korupsi," ujar dia.

Dari anggaran sebesar Rp 2,6 triliun, lanjut Adery, Kapolri perlu mengungkap apa saja keperluan Densus Tipikor dan berapa jumlah perkara yang ditargetkan.

Baca: Lagi, Jaksa Agung Minta Penuntutan Kasus Korupsi Dikembalikan ke Kejagung

Selain itu, Kapolri juga harus menyebutkan besaran biaya yang diperlukan oleh Densus Tipikor untuk menyelesaikan satu perkara.

"Anggaplah anggaran itu sudah tepat, maka Komisi III harus kritis dan detail. Buka dulu anggaran arahnya ke mana sebagai bentuk transparansi. Kapolri harus menjelaskan hal tersebut secara jelas. Hal ini penting agar publik dapat mengetahui secara transparan mengenai pengalokasian anggaran sebesar Rp 2,6 trilliun," ujarAdery.

Hal senada diungkapkan oleh peneliti MaPPI FHUI, Dio Ashar.

Menurut Dio, Komisi III DPR seharusnya mengkritisi secara rinci terkait besarnya anggaran dan memastikan apakah anggaran tersebut telah sesuai dengan kebutuhan penegakan hukum.

"Logika anggarannya harus dilihat lagi secara rinci dan kebutuhannya dalam penegakan hukum," ujar Dio.

Melanggar KUHAP

Hal lain yang perlu menjadi perhatian adalah rencana Kapolri yang ingin agar fungsi penyelidikan, penyidikan dan penuntutan berada dalam satu atap di bawah Densus Tipikor. Konsep tersebut mengadopsi sistem penanganan perkara yang dimiliki oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Baca: Soal Pembentukan Densus Tipikor, Komisi III Soroti Struktur dan Gaji

Sistem seperti itu ingin diterapkan agar berkas perkara tak bolak-balik antara Kepolisian-Kejaksaan seperti yang selama ini terjadi.

Adery mengatakan, jika fungsi penyidikan dan penuntutan berada dalam satu atap di Densus Tipkor, maka posisi Kejaksaan sebagai penuntut umum berada di bawah penyidik Polri.

Hal itu dinilai bertentangan dengan prinsip Kejaksaan sebagai Dominus Litis atau pengendali proses perkara dari tahap awal penyidikan sampai dengan pelaksanaan proses eksekusi putusan.

"MaPPI FHUI menolak jika pembentukan Densus Tipikor Polri justru menggabungkan fungsi penyidikan dan penuntutan dalam satu atap. Pimpinan dari Densus ini adalah Perwira Polri berpangkat Irjen, jadi bisa dibayangkan penyidikan dan penuntutan di bawah polisi," ujar Adery.

Adery menjelaskan, kejaksaan sebagai pihak penuntut dalam suatu perkara juga menjalankan fungsi pengawasan terhadap proses penyidikan.

Dengan demikian, pengawasan secara horizontal terhadap proses penyidikan tidak akan berjalan efektif, sebab kejaksaan akan berada di bawah koordinasi kepolisian.

Menurut Adery, pihak penuntut umum yang seharusnya secara objektif dapat mengawasi pelaksanaan penyidikan Polri menjadi bermasalah ketika atasan atau pimpinan dari Densus Tipikor adalah anggota Polri dan secara fungsional merupakan penyidik.

Apabila pengawasan dari penuntut umum tidak berjalan semestinya, Adery menilai, penyidikan tindak pidana korupsi oleh Densus Tipikor akan sangat rentan dengan kriminalisasi dan pelanggaran prosedural hukum acara pidana.

"Pimpinan dari Densus itu kan penyidik, jenderal bintang dua. Apakah ini akan menjadi obyektif. Ini mengangkangi sistem peradilan pidana.

"Kalau menjadi satu atap, penyidik memiliki otoritas yang lebih luas. Padahal harus ada check and balances, ada mekanisme pengawasan," kata Adery.

Di sisi lain, Adery menilai, wacana menempatkan fungsi penyidikan dan penuntutan di dalam Densus Tipikor bertengan dengan ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Menurut Adery, Densus Tipikor tidak bisa mengadopsi sistem yang dimiliki KPK sebab kewenangan KPK diatur secara khusus dalam Undang-Undang No 30 Tahun 2002 tentang KPK.

"Kalau satu atap, itu bertentangan dengan KUHAP. Kalau KPK kan berdasarkan UU. Maka kalau Densus dibentuk dan fungsi penyidikan dan penuntutan satu atap maka Densus harus dibentuk melalui UU, bukan Perpres," kata Adery.

Kompas TV Densus Tipikor muncul dalam RDP Kapolri dengan Komisi III
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Pabrik Bata Tutup, Jokowi: Usaha Itu Naik Turun, karena Efisiensi atau Kalah Saing

Pabrik Bata Tutup, Jokowi: Usaha Itu Naik Turun, karena Efisiensi atau Kalah Saing

Nasional
KPU Ungkap Formulir C.Hasil Pileg 2024 Paniai Dibawa Lari KPPS

KPU Ungkap Formulir C.Hasil Pileg 2024 Paniai Dibawa Lari KPPS

Nasional
Soal 'Presidential Club' Prabowo, Bamsoet Sebut Dewan Pertimbangan Agung Bisa Dihidupkan Kembali

Soal "Presidential Club" Prabowo, Bamsoet Sebut Dewan Pertimbangan Agung Bisa Dihidupkan Kembali

Nasional
KPK Periksa Dirut Nonaktif PT Taspen Antonius Kosasih

KPK Periksa Dirut Nonaktif PT Taspen Antonius Kosasih

Nasional
KPU Ungkap 13 Panitia Pemilihan di Papua Tengah yang Tahan Rekapitulasi Suara Berujung Dipecat

KPU Ungkap 13 Panitia Pemilihan di Papua Tengah yang Tahan Rekapitulasi Suara Berujung Dipecat

Nasional
Ekonomi Tumbuh 5,11 Persen, Jokowi: Negara Lain Masuk Jurang, Kita Naik

Ekonomi Tumbuh 5,11 Persen, Jokowi: Negara Lain Masuk Jurang, Kita Naik

Nasional
Eks Anak Buah SYL Beri Tip untuk Paspampres, Gratifikasi Disebut Jadi Kebiasaan

Eks Anak Buah SYL Beri Tip untuk Paspampres, Gratifikasi Disebut Jadi Kebiasaan

Nasional
TPN Resmi Dibubarkan, Hasto Tegaskan Perjuangan Tetap Dilanjutkan

TPN Resmi Dibubarkan, Hasto Tegaskan Perjuangan Tetap Dilanjutkan

Nasional
Kelakar Jokowi soal Kemungkinan Pindah Parpol Usai Tak Dianggap PDI-P

Kelakar Jokowi soal Kemungkinan Pindah Parpol Usai Tak Dianggap PDI-P

Nasional
 Gerindra Sebut Indonesia Negara Besar, Wajar Kementerian Diperbanyak

Gerindra Sebut Indonesia Negara Besar, Wajar Kementerian Diperbanyak

Nasional
Satu Pejabat Pemprov Malut Jadi Tersangka Baru Kasus Gubernur Abdul Ghani Kasuba

Satu Pejabat Pemprov Malut Jadi Tersangka Baru Kasus Gubernur Abdul Ghani Kasuba

Nasional
RI Ajukan Penyesuaian Pembayaran Proyek Jet Tempur KF-21 Boramae ke Korsel, Kemenhan Jelaskan Alasannya

RI Ajukan Penyesuaian Pembayaran Proyek Jet Tempur KF-21 Boramae ke Korsel, Kemenhan Jelaskan Alasannya

Nasional
 Prabowo Disebut Ingin Tambah Jumlah Kementerian, Jokowi Klaim Tak Beri Masukan

Prabowo Disebut Ingin Tambah Jumlah Kementerian, Jokowi Klaim Tak Beri Masukan

Nasional
Menag Bertolak ke Arab Saudi Cek Persiapan Ibadah Haji untuk Jemaah Indonesia

Menag Bertolak ke Arab Saudi Cek Persiapan Ibadah Haji untuk Jemaah Indonesia

Nasional
Luhut Ingatkan Prabowo Jangan Bawa Orang 'Toxic', Jokowi: Benar Dong

Luhut Ingatkan Prabowo Jangan Bawa Orang "Toxic", Jokowi: Benar Dong

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com