JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menilai, saat ini kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebaiknya tak lagi menjadi ujung tombak penindakan dalam pemberantasan korupsi.
"Sudah purnalah tugas KPK sekarang. Begitu PBB mengatakan best Practice, ya sudahlah," kata Fahri di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (13/10/2017).
Terlebih saat ini menguat wacana pembentukan Detasemen Khusus Tindak Pidana Korupsi (Densus Tipikor) oleh Polri.
Bahkan, menurut Fahri, kehadiran Densus Tipikor merupakan keberhasilan KPK menjalankan tugasnya sebagai trigger mechanism dalam pemberantasan korupsi.
(baca: Dapat Predikat "Best Practices" dari PBB, KPK Harap UU Tidak Direvisi)
Namun, kata Fahri, KPK tak serta-merta dibubarkan dengan munculnya Densus Tipikor.
Menurut Fahri, nantinya KPK tetap tergabung dalam upaya pemberantasan korupsi untuk menjalankan fungsi pencegahan.
"Jadi dia digabung dengan Ombudsman, Komnas HAM, LPSK untuk menangkap komplain masyarakat terhadap lembaga negara," papar Fahri.
"Itu lah, nanti masuk KPK itu nanti supaya dia bisa menjadi penegak hukum, semacam penegak hukum, seperti pelayanan KTP, termasuk pelayanan kepolisian, bikin SIM, STNK. Itu kalau ada komplain ke sini aja," lanjut politisi yang dipecat PKS itu.
(baca: Kapolri: Butuh Rp 2,6 Triliun untuk Bentuk Densus Tipikor)
Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif sebelumnya mengapresiasi hasil penelitian yang dilakukan United Nations Convention Against Corruption (UNCAC).
Dalam penelitian yang dilakukan UNCAC, KPK sebagai lembaga pemberantasan korupsi mendapatkan predikat best practices.
Laode pun berharap Undang-Undang KPK sebagai dasar hukum KPK dalam bertindak tidak diubah.
"Kelembagaan KPK itu oleh review-nya dianggap best practices di dunia. Jadi yang diubah jangan Undang-Undang KPK, tapi Undang-Undang Tipikornya. Jadi mana yang gatal, mana yang digaruk, ini beda," kata Laode dalam jumpa pers bersama delegasi UNCAC di Hotel Four Points, Jakarta, Senin (9/10/2017).
(baca: KPK Akan Serahkan Kasus Kecil kepada Densus Tipikor)
Laode menyinggung soal langkah pemerintah dan DPR yang beberapa kali mencoba melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Upaya revisi beberapa kali mencuat, namun akhirnya batal karena mendapat penolakan publik.
"Kalau internasional memuji kita best practices, itu lembaga KPK-nya. Tapi yang mau diubah (undang-undang) KPK-nya malah. Itu yang salah menurut saya," ujar Laode.
Di sisi lain, Laode menyebut adanya sejumlah rekomendasi yang disampaikan UNCAC untuk memperbaiki sistem pemberantasan korupsi di Indonesia.
Rekomendasi itu antara lain yakni perbaikan Undang-Undang Tipikor, KUHP dan KUHAP. Namun, rekomendasi ini justru tidak dijalankan oleh pemerintah dan DPR.
"Drafnya sudah ada di DPR. Cuma enggak masuk prolegnas. Jadi itu enggak dijadikan prioritas, padahal itu seharusnya prioritas," ucap Laode.