JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Amnesty International Indonesia, Papang Hidayat mengatakan sudah ada kemajuan soal masalah hukuman mati di Indonesia.
Hal tersebut menanggapi pernyataan Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly yang menegaskan, hukuman mati tetap akan diberlakukan. Kemajuan itu, lanjut dia, soal hukuman mati yang bukan menjadi hukuman pokok.
"Jadi dia buat hukuman mati bukan hukuman pokok, di mana orang yang sudah dihukum matipun masih bisa dapat kesempatan untuk tidak dieksekusi mati. Ini suatu kemajuan, tapi menurut kami tidak cukup maju," kata Papang, usai jumpa pers di kantor KontraS, Jakarta, Selasa (10/10/2017).
Yasonna sebelumnya mengatakan, pemerintah berencana mengambil jalan tengah soal hukuman mati ini dalam revisi rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
(Baca: Menkumham Pastikan Hukuman Mati Tetap Ada)
Jalan tengah yang diambil adalah menjadikan hukuman mati sebagai hukuman alternatif. Hukuman tersebut juga masih bisa ditinjau kembali. Tak menutup kemungkinan vonis hukuman mati seseorang bisa berubah jika terpidana tersebut berkelakuan baik.
Amnesty berharap, Indonesia suatu saat dapat "mengharamkan" hukuman mati. Namun, pihaknya mengaku pernah bertemu dengan sejumlah pihak yang terkait masalah ini, seperti anggota DPR, pansus untuk KUHP, dan pihak pemerintah.
Para pihak itu disebutnya nampak sadar bahwa isu hukuman mati ini masih isu sensitif karena bisa dibawa-bawa ke tafsiran politik dan teologis. Sehingga para pihak tersebut, lanjut Papang, berupaya menghasilkan win-win solution dengan tidak menjadikan hukuman mati sebagai hukuman pokok tadi.
Papang menambahkan, hingga 2017 ada 105 negara yang sudah menghapuskan secara total hukuman mati, untuk segala jenis kejahatan baik yang dianggap biasa maupun kejahatan yang dianggap paling serius. Sementara 40 tahun lalu itu hanya 16 negara.
(Baca: Mantan Hakim Konstitusi Anggap Hukuman Mati Tak Mempan Timbulkan Efek Jera)
"Jadi sebetulnya jumlahnya itu ada peningkatan. Ini yang membuat negara-negara yang masih menerapkan hukuman mati, entah itu yang masih memiliki hukuman mati dalam sistem hukumnya, itu harus mereview apakah sudah saatnya mereka menghapuskan atau lebih baik melakukan moratorium," ujar Papang.
Menurut Papang, studi menunjukkan hukuman mati tidak pernah menjadi suatu bentuk efek jera yang efektif untuk mengurangi angka kejahatan, dibandingkan dengan hukuman pemidanaan penjara.
"Nah kalau sama-sama tidak punya faktor yang menentukan saya kira di zaman abad kemanusiaan ini harusnya nyawa dihargai tinggi. Jadi saya kira itu salah satu alasan kita harus menolak hukuman mati," ujar Papang.
(Baca: ICJR Berharap Segera Ada Moratorium Hukuman Mati)
Negara dengan sistem hukum yang dianggap maju seperti Amerika Serikat, lanjut Papang, setelah ditemukan sistem pembuktian lewat DNA, ditemukan ada 150 orang terpidana mati yang sudah dieksekusi mati, yang sebetulnya tidak bersalah.