JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan menganggap hukuman mati bukan solusi yang efektif untuk menghapus tindak pidana penyalahgunaan narkotika.
Menurut dia, hal tersebut terlihat dari tingginya angka kejahatan narkotika yang ditangani penegak hukum saat ini. Pelaku kejahatan, kata dia, tidak kapok dengan hukuman mati yang diberlakukan.
"Pidana mati tidak sebegitu berpengaruh pada menurunnya tindak kejahatan. Jangan dikira orang kapok (dengan hukuman mati), kan enggak," ujar Maruarar dalam diskusi di Jakarta, Minggu (8/10/2017).
Alih-alih pemberatan hukuman dengan mencabut nyawa, kata Maruarar, pemerintah sebaiknya menggagas cara lain yang lebih efektif. Menurut dia, penegakan hukum tidak akan efektif selama masih ada keuntungan dalam tindakan kejahatan.
(Baca: Komnas HAM: Eksekusi Mati di Era Jokowi Lebih Banyak Daripada Era SBY)
"Undang-undang jadi tidak ada daya apa-apa. Orang mengandalkan sanksi anaman mati, anggap orang jadi takut," kata Maruarar.
Peredaran narkotika melibatkan jaringan, baik nasional maupun internasional. Baik kelas teri, maupun kelas kakap. Maruarar mengatakan, semestinya penegak hukum memangkas para bandarnya yang punya kuasa lebih besar dalam mengendalikan barang haram tersebut.
"Yang dipidana mati kan bukan tokoh tokohnya. Yang ditangkap yang kecil-kecil, mereka (bandar) masih ongang-ongkang," kata dia.
Pemerintah Indonesia, kata Maruarar, semestinya mempertimbangkan pandangan negara lain atas kebijakan hukuman mati. Negara-negara di PBB menunjukkan ketidaksetujuan atas kebijakan hukuman mati yang diberlakukan di Indonesia.
Bahkan, sejumlah negara mengeluarkan rekomendasi yang intinya mendesak agar hukiman tersebut dihapuskan. Namun, kata Maruarar, rekomendasi itu tidak ditanggapi dengan baik oleh Indonesia.
(Baca: Kontras: Kejagung Ambisius Lakukan Eksekusi Mati, tapi Tak Ada Evaluasi)
"Meski kita gemas (dengan pelaku), kita harus kepala dingin melihatnya. Kritik dunia jadi suatu peringatan pada kita utntuk kembali pada landasan hukum negara yang sudah dideklarasikan," kata Maruarar.
Rektor Universitas Kristen Indonesia itu menilai, hukuman tambahan berupa kerja sosial lebih ampuh menimbulkan efek jera. Tak hanya untuk terpidana narkoba, tapi juga terpidana kasus korupsi. Misalnya, kata dia, pelaku disuruh menyapu jalan yang ramai orang lewat. Tak hanya jera, pelaku juga akan malu.
"Perlakukan dia di tengah masyarakat. Dia punya keluarga, punya cucu, Dia pasti menyerah," kata Maruarar.
"Kalau dihukum 15 tahun, misalnya, dia punya uang, bisa kerja sama dengan orang luar. Tenang dia di sana," lanjut dia.