JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan anggota DPR dari PDI-P, Izedrik Emir Moeis mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) perihal keterangan saksi yang tidak dihadirkan dalam persidangan. Ketentuan ini tercantum dalam pasal 162 ayat 1 dan 2 KUHAP.
Ahli Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra selaku Kuasa hukum Emir mengatakan, pasal tersebut bertentangan dengan asas kepastian hukum dan keadilan sebagaimana tertuang dalam pasal 28 D UUD 1945.
"Jadi, ini ketentuan yang oleh Emir Moes (dianggap) menghilangkan hak konstitusional beliau untuk memperoleh proses penegakan hukum pidana yang benar dan adil," kata Yusril di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (14/9/2017).
Adapun KUHAP pasal 162 ayat 1 berbunyi, "jika saksi sesudah memberi keterangan dalam penyidikan meninggal dunia atau karena halangan yang sah tidak dapat hadir di sidang atau tidak dipanggil karena jauh tempat kediaman atau tempat tinggalnya atau karena sebab lain yang berhubungan dengan kepentingan negara, maka keterangan yang telah diberikannya itu dibacakan".
(Baca: Emir Moeis Divonis 3 Tahun Penjara)
Sedangkan ayat 2 menyebutkan, "jika keterangan itu sebelumnya telah diberikan di bawah sumpah, maka keterangan itu disamakan nilainya dengan keterangan saksi di bawah sumpah yang diucapkan di sidang".
Berdasarkan alasan sesuai pasal tersebut, kata Yusril, maka seorang saksi boleh tidak hadir di persidangan dan cukup menyampaikan keterangannya secara tertulis. Namun, keterangannya itu sama nilainya dengan saksi yang hadir dipersidangan.
Menurut Yusril, ketentuan itu berpotensi menghilangkan hak konstitusional seorang terdakwa. Bahkan, rentan diselewengkan oleh Jaksa Penuntut Umum sebab keterangan saksi tersebut tidak bisa dibantah oleh saksi-saksi yang lain, tidak bisa dikonfrontir dengan keterangan yang lain, tidak bisa ditanya oleh terdakwa, bahkan hakim pun tidak bisa bertanya dan melihat ekspresi ketika orang tersebut memberikan kesaksiannya.
(Baca: Merasa Jadi Korban, Emir Moeis Bakal Laporkan Pirooz ke Mabes Polri)
"Akibatnya, bisa timbul kesewenang-wenangan," kata dia.
Lebih dari itu, menurut Yusril, pasal tersebut tidak lagi relevan. Teknologi saat ini sudah berkembang pesat. Jika pun ada seorang saksi tidak bisa datang ke persidangan karena alasan sesuai dengan pasal tersebut, maka dapat dilakukan via komunikasi visual.
"Jadi pertanyaan kami apakah pasal-pasal ini perlu dipertahankan apa tidak? Dengan kemajuan teknologi informasi, ada teleconference, segala macam. Semestinya bisa dipanggil orangnya, didengarkan melalui teleconference," kata dia.
Berawal dari kasus yang menjerat Emir
Menurut Yusril, secara nyata berlakunya pasal tersebut telah merugikan Emir pada kasus dugaan suap Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Tarahan, Lampung, tahun 2004.
Saat itu, Emir berkali-kali meminta Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan Majelis Hakim menghadirkan Presiden Direktur Pacific Resources Inc., Pirooz Muhammad Sharafih yang berkewarganegaraan asing, namun tidak pernah didatangkan.