JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Eksekutif Respublica Political Institute (RPI) Benny Sabdo berpendapat bahwa permintaan penundaan penyidikan kasus dugaan korupsi proyek e-KTP dari pimpinan DPR kepada Komisi Pemberantasan Korup (KPK) merupakan bentuk intervensi terhadap proses penegakan hukum.
Melalui surat, DPR meminta agar KPK menunda penyidikan kasus yang melibatkan ketua DPR Setya Novanto, karena proses praperadilan tengah berjalan.
"Kalau sekarang diminta hentikan dasarnya apa? Surat DPR itu namanya intervensi hukum," kata Benny saat dihubungi, Rabu (13/9/2017).
"DPR tidak punya otoritas untuk meminta penghentian penyidikan. Ini malah ngawur dan akal-akalan DPR," ujar dia.
(Baca juga: Upaya Novanto Hindari Proses Hukum dan Surat DPR yang Menuai Kecaman)
Selain tidak berdasarkan hukum, lanjut Benny, penghentian penyidikan bisa dilakukan apabila Novanto memenangkan gugatan praperadilan yang telah diajukan.
Menurut Benny, KPK tetap bisa mengumpulkan bukti-bukti melalui penyidikan, sementara proses praperadilan juga berjalan.
"Meski Novanto ajukan praperadilan tidak mempengaruhi proses penyidikan kasus. KPK bisa tetap melakukan proses penyidikan kasus. Jika nanti akhirnya Novanto menang di pengadilan baru dapat dihentikan," kata dia.
Oleh sebab itu, Benny berharap KPK tidak terpengaruh dengan surat yang dikirimkan dan ditandatangani oleh pimpinan DPR.
Sebelumnya, Kepala Biro Pimpinan Sekretariat Jenderal DPR RI Hanny Tahapary menyampaikan surat kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Selasa (22/9/2017).
Pada intinya, surat tersebut berisi permintaan agar KPK menunda proses penyidikan terhadap Ketua DPR Setya Novanto terkait kasus dugaan korupsi proyek e-KTP.
Dalam surat tersebut, pimpinan DPR menilai praperadilan adalah hal yang lumrah dalam proses penegakan hukum. Pimpinan DPR meminta KPK mengedepankan asas praduga tak bersalah dan menghormati proses hukum praperadilan yang sedang berlangsung.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.