JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan bahwa dalam penyelenggaraan pemilu hal terpenting adalah landasan hukum yang mendasari perhelatan demokrasi tersebut.
Oleh karena itu, seharusnya regulasi pemilu tersebut terus dilakukan penguatan-penguatan, bukan sebaliknya.
"Perlu terus adanya penguatan regulasi kepemiluan di Indonesia. UU ini sangat penting sebagai sebuah regulasi yang dijadikan pegangan dalam penyelenggaraan Pemilu lima tahunan yang demokratis," kata Tjahjo melalui pesan singkatnya, Rabu (6/9/2017).
Tjahjo menanggapi upaya sejumlah pihak untuk menggugat UU Pemilu ke Mahkamah Konstitusi.
Menurut Tjahjo, UU Pemilu diharapkan pemerintah alam mempertegas konsolidasi demokrasi itu. Undang-undang itu juga disebutkan Tjahjo telah mengatur sedemikian rupa agar konsolidasi tercapai.
(Baca: PBB Segera Gugat Ketentuan "Presidential Threshold" di UU Pemilu)
"Seperti memperkecil disproporsonalitas dalam penghitungan kursi, semangat memperkuat sistem ketatanegaraan, adanya upaya pendidikan politik kepada publik, adanya upaya memperkuat institusi partai politik dan lainnya," tutup dia.
Sebelumnya, Partai Bulan Bintang (PBB) resmi mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap ketentuan ambang batas pencalonan presiden yang tertuang dalam Pasal 222 UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Dalam pasal tersebut diatur ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshol sebesar 20 persen kursi atau 25 persen suara nasional.
Ketua Umum PBB Yusril Ihza Mahendra mengatakan, ketentuan tersebut telah merugikan pihaknya.
"Partai ini mempunyai hak konstitusional untuk mengajukan pasangan capres dan cawapres karena ini parpol peserta pemilu. Tapi hak konstitusionalnya itu dirugikan atau terhalang dengan norma pasal 222 (UU Pemilu). Karena itu, kami meminta pasal itu dibatalkan MK," kata Yusril di MK.
(Baca: Dua Anggota DPR Aceh Ajukan Uji Materi UU Pemilu)
Selain itu, ketentuan ambang batas bertentanganan dengan rasionalitas. Sebab, pemilu 2019 akan dilakukan secara serentak untuk pemilihan presiden dan legislatif, sehingga akan sulit menetapkan ambang batas untuk pencalonan presiden.
Di sisi lain, menurut Yusril, perolehan suara pada pemilu sebelumnya, yakni 2014, tidak bisa dijadikan sebagai acuan bagi parpol mengajukan calon presiden 2019. Alasannya, hasil pileg 2014 sudah digunakan untuk mencalonkan pada pemilihan presiden 2014.
Untuk diketahui, terkait ambang batas sudah digugat oleh beberapa pihak. Di antaranya, gugatan diajukan oleh sejumlah advokat yang tergabung dalam Advokat Cinta Tanah Air (ACTA).
Selain itu, gugatan juga diajukan oleh Partai Idaman. Ketua Umum Partai Idaman Rhoma Irama mangatakan bahwa ketentuan ambang batas merugikan pihaknya.