Umat Buddha Indonesia bergerak membantu
Pada kesempatan yang sama Suhu Benny menyerukan agar umat Budha, khususnya di Indonesia, ikut mengirimkan bantuan kemanusiaan bagi warga Rohingya di Myanmar.
"Tentu kami juga menyerukan agar rasa keprihatian ini semoga umat budha juga berbuat sesuatu sebagai bentuk nyata dan dulu pernah dilakukan di luar negeri, mengirim bantuan kemanusiaan langsung ke Myanmar," ujar Suhu Benny saat berdialog dengan Muhaimin.
Suhu Benny pun berharap peristiwa yang dialami warga Rohingya dilihat sebagai konflik antara pemeluk agama Budha dan Islam. Dia pun menegaskan bahwa peristiwa di Myanmar tidak bisa dikaitkan dengan umat Budha yang ada di Indonesia.
(Baca: Tokoh Agama Buddha Indonesia Serukan Bantuan untuk Rohingya)
"Kami yang ada di Indonesia enggak ada hubungannya dengan mazhab yang ada di Myanmar. Walaupun secara mazhab tidak sama, secara akidah kebiksuannya sama. Kalau sudah melakukan kekerasan dan pembunuhan otomatis gugur kebhiksuaannya," tuturnya.
Selain itu, Suhu Benny juga mengungkapkan rasa prihatinnya terhadap tragedi kemanusiaan warga Rohingya di Myanmar. Dia menyayangkan tragedi kemanusiaan itu bisa terjadi di negara yang mayoritas warganya beragama Budha.
"Oleh karena itulah masalah di Myanmar itu kita bangsa Indonesia, saya pribadi, rekan-rekan biksu bukan hanya prihatin, bahkan menangis kok bisa terjadi begini Di dalam negara yang mayoritas Budhis. Itu perlu diselidiki permasalahannya apa," kata dia.
Konflik politik dan ekonomi
Wakil Sekjen Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Daniel Johan menuturkan bahwa kekerasan mematikan yang dialami warga Rohingya di negara bagian Rakhine, Myanmar bukan merupakan konflik agama.
Menurut Daniel, ada konflik kepentingan ekonomi yang melatarbelakangi peristiwa kekerasan tersebut. Kemudian, kepentingan ekonomi itu dibungkus agar seolah-olah yang terjadi merupakan konflik antar-agama.
"Sama sekali ini bukan persoalan agama. Ada konflik kepentingan ekonomi di balik persoalan Rohingya. Di situ ada jalur sumber energi, minyak dan gas. Saya rasa itu yang utama di sana. Kepentingan itu dibungkus dengan konflik agama dan dipelihara oleh militer Myanmar," ujar Daniel saat ditemui usai menghadiri dialog dengan para Bhiksu dan pemuka agama Budha.
Menurut Daniel, konflik antar-etnis di Myanmar sudah terjadi sejak masa penjajahan Inggris. Inggris, kata Daniel, memang menggunakan politik yang memecahbelah etnis dan terus dipelihara sebagai sebuah peta konflik.
"Kalau dari historis ini dimulai dari penjajahan Inggris yang membelah etnis. Seperti di Khasmir misalnya, sehingga mewarisi peta konflik di sana. Etnisnya pun berbeda-beda kan," kata Daniel.
Daniel pun menegaskan bahwa tragedi kemanusiaan terhadap warga Rohingya tidak bisa dilihat sebagai konflik antara pemeluk agama Budha dan warga Rohingya yang mayoritas pemeluk Islam.
(Baca: Konflik Politik dan Ekonomi di Balik Tragedi Kemanusiaan Rohingya)
"Di dalam Budha itu tidak ada satu ayat pun yang membenarkan pemeluk agama Budha itu terlibat dalam perang. Apalagi menimbulkan pembunuhan. Itu langsung dianggap melakukan dosa yang sangat besar," ucapnya.
Sementara itu, dikutip dari situs berita Deutsche Welle, Kepala Bidang penelitian pada South Asia Democratic Forum (SADF) Siegfried O. Wolf berpendapat, krisis yang dialami warga Rohingya lebih bersifat politis dan ekonomis.
Siegfried menuturkan, komunitas warga Rakhine yang beragama merasa didiskriminasi secara budaya, juga tereksploitasi secara ekonomi dan disingkirkan secara politis oleh pemerintah pusat, yang didominasi etnis Burma.
Di sisi lain, warga Rohingya dianggap warga Rakhine sebagai saingan tambahan dan ancaman bagi identitas mereka sendiri. Selain itu, kelompok Rakhine merasa dikhianati secara politis, karena warga Rohingnya tidak memberikan suara bagi partai politik mereka.
"Ini menyebabkan tambah runcingya ketegangan. Sementara itu, pemerintah tidak mendorong rekonsiliasi, melainkan mendukung fundamentalis Buddha dengan tujuan menjaga kepentingannya di kawasan yang kaya sumber alam tersebut," ujar Siegfried.
"Faktor-faktor ini adalah penyebab utama di balik konflik antar kelompok etnis dan antar agama. Ini juga jadi penyebab memburuknya kondisi hidup warga Rohingya, serta pelanggaran hak-hak sosial-politis mereka," kata dia.
Siegfried juga memandang kekerasan terhadap warga Rohingya juga memiliki aspek ekonomi. Rakhine, lanjut Siegfried, adalah salah satu negara bagian yang warganya paling miskin, walaupun kaya sumber daya alam.
Warga Rohingya dianggap beban ekonomi tambahan, jika mereka bersaing untuk mendapat pekerjaan dan kesempatan untuk berbisnis. Pekerjaan dan bisnis di negara bagian itu sebagian besar dikuasai kelompok elit Burma.
"Jadi bisa dibilang, rasa tidak suka warga Buddha terhadap Rohinya bukan saja masalah agama, melainkan didorong masalah politis dan ekonomis," ucapnya.
Warga yang tak diakui negara
Rohingya merupakan salah satu suku minoritas di Myanmar. Mereka telah menetap di negara itu selama beberapa generasi, tepatnya di wilayah negara bagian, Rakhine. Namun, Pemerintah Myanmar menolak mengakui mereka sebagai warga negaranya.
Alih-alih, mereka menyebut Rohingya adalah imigran muslim ilegal asal Banglades. Kekerasan yang dialami Warga Rohingya semakin menjadi-jadi sejak junta militer menguasai Myanmar mulai era 1960-an.
Lalu, pada 1982, terbit Burma Citizenship Law, yang tak memasukkan Rohingya sebagai warga negaranya. Burma adalah nama lama Myanmar hingga berubah pada 1989.
Di Myanmar, Rohingya kerap dianggap bagian dari suku Bengali—wilayah Banglades—karena pada 1960-an suku ini pernah mengungsi massal ke wilayah Bengali akibat represi militer.
Namun, tudingan bahwa Rohingya sejatinya orang Bengali pun tak sejalan dengan sikap Pemerintah Banglades. Negara ini pun tak mau menyambut orang Rohingya sebagai warga negaranya, meski menampung seribuan pengungsi dari suku tersebut.
Konflik Rohingya di Myanmar bukan sekali atau dua kali berujung dengan hilangnya nyawa. Kisah-kisah warga yang kelaparan—termasuk perempuan dan anak-anak—lebih-lebih sering lagi muncul.
Selain tak diakui kewarganegaraannya, orang-orang Rohingya juga tak mendapat akses untuk segala pekerjaan di Myanmar, kecuali segelintir dari orang-orang yang terketuk hati memberi pekerjaan informal. Mengungsi ke negara-negara lain—tak cuma Banglades—pun tak selalu diterima.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.