Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tanggapan KPK soal Ganti Rugi untuk Mantan Hakim Syarifuddin

Kompas.com - 21/08/2017, 17:19 WIB
Robertus Belarminus

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi menyatakan penyerahan uang Rp 100 juta kepada mantan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Syarifuddin merupakan pelaksanaan putusan Mahkamah Agung.

Uang itu diberikan KPK setelah Syarifuddin memenangkan gugatan perdata terhadap KPK.

Gugatan diajukan Syarifuddin karena perbedaan pendapat soal barang bukti yang disita KPK pada kasus operasi tangkap tangan (OTT) yang menjeratnya.

Syarifuddin merupakan terpidana dalam kasus suap yang ditangkap KPK pada 2011 lalu.

"Terdapat perbedaan pendapat terkait bukti lain yang disita saat OTT. Oleh karena itulah, pihak terdakwa mengajukan gugatan perdata," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah, melalui keterangan tertulis, Senin (21/8/2017).

Baca: Kalah Kasasi, KPK Beri Ganti Rugi Rp 100 Juta ke Mantan Hakim Syarifuddin

Febri menyatakan, saat melawan gugatan perdata Syarifuddin, KPK telah berupaya maksimal.

KPK berpandangan, seharusnya upaya hukum terhadap penggeledahan ataupun penyitaan ada di ranah praperadilan, bukan perdata.

"Namun hakim berpandangan berbeda, dan sebagai penegak hukum tentu kami wajib hormati putusan pengadilan," ujar Febri.

Untuk melaksanakan putusan pada perkara pokok, lanjut Febri, KPK sudah mengembalikan sejumlah bukti yang pernah disita.

KPK juga sudah menitipkan Rp 100 juta tersebut di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sejak Desember 2016, setelah MA menjatuhkan vonis di tingkat PK.

Baca: Merasa Dikriminalisasi KPK, Mantan Hakim Syarifuddin Akan Temui Pansus

Hari ini merupakan penyerahan uang Rp 100 juta itu terhadap yang bersangkutan.

Febri mengatakan, proses ini dapat menjadi pelajaran agar keberatan dari proses hukum diselesaikan melalui jalur hukum yang dapat dipertanggungjawabkan, dan bukan ditarik ke proses politik.

"KPK menghormati hasil dari proses hukum tersebut meskipun sejak awal terdapat perbedaan pandangan terkait materi perkara," ujar Febri.

Sebelumnya, MA memutuskan uang yang disita KPK dari kediaman Syarifuddin ada yang tidak berkaitan dengan perkara Syarifuddin yang ditangani KPK.

Pada 2012, Syarifuddin divonis empat tahun penjara dan denda Rp 150 juta subsider empat bulan kurungan.

Dia dianggap terbukti menerima suap dari kurator PT Skycamping Indonesia, Puguh Wirawan, sebesar Rp 250 juta.

Sebelum divonis, Syarifuddin mengajukan gugatan praperadilan terhadap KPK ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Dia menganggap KPK menyalahi prosedur hukum dalam melakukan penggeledahan saat operasi tangkap tangan di kediamannya.

Menurut dia, beberapa harta kekayaan yang tidak terkait dengan kasusnya disita KPK.

Pada 19 April 2013, PN Jakarta Selatan mengabulkan gugatan Syarifuddin.

KPK diminta membayar sebesar Rp 100 juta dan diwajibkan untuk mengembalikan uang asing milik Syarifuddin yang disita KPK sekitar Rp 2 miliar dari gugatan yang diajukan Syarifuddin sebesar Rp 5 miliar.

KPK kemudian mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.

Dalam putusan majelis hakim Pengadilan Tinggi, kemenangan Syarifuddin dianulir.

Syarifuddin kemudian mengajukan kasasi, dan MA memenangkan gugatannya.

Kompas TV Ketua Dewan Kehormatan PAN, Amien Rais hari ini menemui anggota pansus hak angket KPK di DPR.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang


Terkini Lainnya

Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

Nasional
Soal 'Presidential Club', Golkar Yakin Prabowo Bisa Menyatukan para Presiden Terdahulu

Soal "Presidential Club", Golkar Yakin Prabowo Bisa Menyatukan para Presiden Terdahulu

Nasional
Tanggapi Isu 'Presidential Club', PDI-P: Terlembaga atau Ajang Kongko?

Tanggapi Isu "Presidential Club", PDI-P: Terlembaga atau Ajang Kongko?

Nasional
Cak Imin Sebut PKB Jaring Calon Kepala Daerah dengan 3 Kriteria

Cak Imin Sebut PKB Jaring Calon Kepala Daerah dengan 3 Kriteria

Nasional
Golkar: 'Presidential Club' Bisa Permudah Prabowo Jalankan Pemerintahan

Golkar: "Presidential Club" Bisa Permudah Prabowo Jalankan Pemerintahan

Nasional
Jokowi Diprediksi Gandeng Prabowo Buat Tebar Pengaruh di Pilkada 2024

Jokowi Diprediksi Gandeng Prabowo Buat Tebar Pengaruh di Pilkada 2024

Nasional
Kans Parpol Pro Prabowo-Gibran Dengarkan Jokowi Tergantung Relasi

Kans Parpol Pro Prabowo-Gibran Dengarkan Jokowi Tergantung Relasi

Nasional
Demokrat Yakin Jokowi-Megawati Bisa Bersatu di 'Presidential Club'

Demokrat Yakin Jokowi-Megawati Bisa Bersatu di "Presidential Club"

Nasional
Sebut SBY Setuju Prabowo Bentuk 'Presidential Club', Demokrat: Seperti yang AS Lakukan

Sebut SBY Setuju Prabowo Bentuk "Presidential Club", Demokrat: Seperti yang AS Lakukan

Nasional
Jokowi Diperkirakan Bakal Gunakan Pengaruhnya di Pilkada Serentak 2024

Jokowi Diperkirakan Bakal Gunakan Pengaruhnya di Pilkada Serentak 2024

Nasional
Soal Kemungkinan Gabung Koalisi Prabowo, Cak Imin: Kita Lihat pada 20 Oktober

Soal Kemungkinan Gabung Koalisi Prabowo, Cak Imin: Kita Lihat pada 20 Oktober

Nasional
Kementerian PPPA Akan Dampingi Anak Korban Mutilasi di Ciamis

Kementerian PPPA Akan Dampingi Anak Korban Mutilasi di Ciamis

Nasional
'Orang Toxic Jangan Masuk Pemerintahan, Bahaya'

"Orang Toxic Jangan Masuk Pemerintahan, Bahaya"

Nasional
Prabowo Perlu Waktu untuk Bertemu, PKS Ingatkan Silaturahmi Politik Penting bagi Demokrasi

Prabowo Perlu Waktu untuk Bertemu, PKS Ingatkan Silaturahmi Politik Penting bagi Demokrasi

Nasional
Soal Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Bukan Cuma Harapan Pak Luhut

Soal Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Bukan Cuma Harapan Pak Luhut

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com