Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ini Kesimpulan KPK Tanggapi Praperadilan Mantan Kepala BPPN

Kompas.com - 01/08/2017, 18:24 WIB
Robertus Belarminus

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyerahkan berkas kesimpulan pada sidang praperadilan yang diajukan mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsjad Temenggung.

Kesimpulan itu disampaikan pada sidang praperadilan yang berlangsung di PN Jakarta Selatan, Selasa (1/8/2017).

Sidang dipimpin hakim tunggal praperadilan, Effendi Muckhtar

Syafruddin mengajukan gugatan praperadilan atas penetapannya sebagai tersangka kasus dugaan korupsi dalam pemberian Surat Keterangan Lunas kepada Sjamsul Nursalim, selaku pemegang saham pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) tahun 2004.

Baca: Kasus SKL BLBI, KPK Tetapkan Mantan Kepala BPPN sebagai Tersangka

Ada lima poin dalam kesimpulan KPK.

Pertama, KPK menilai Syafruddin tidak dapat membuktikan dalil-dalilnya karena tidak mampu menghadirkan fakta, bukti, keterangan saksi, ataupun ahli yang mendukung dalil-dalilnya.

Keterangan saksi fakta Lukita D Tuwo yang diajukan justru dinilai menguatkan perbuatan Syafruddin dalam menghapuskan piutang dengan menerbitkan SKL, bahwa hal itu melanggar Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara.

"Kewenangan BPPN adalah penghapusbukuan bukan penghapusan piutang negara. Kementerian Keuangan lah yang memiliki kewenangan untuk menghapuskan piutang negara," demikian pernyataan KPK pada berkas kesimpulan.

Menurut KPK, penghapusan piutang Sjamsul Nursalim oleh Syafruddin dilakukan tanpa persetujuan DPR sehingga dinilai melanggar UU Nomor 1 Tahun 2004.

KPK berpandangan, keterangan ahli Nindyo Pramono yang disampaikan pada sidang, menegaskan bahwa lunas sama artinya dengan penghapusan piutang.

Dengan demikian, tindakan penerbitan SKL oleh Syafruddin bertentangan dengan UU Nomor 1 Tahun 2004.

Poin kedua, KPK menyatakan bahwa penetapan tersangka Syafruddin telah berdasarkan bukti permulaan yang cukup dan sah menurut Undang-Undang.

Misalnya, bukti pemeriksaan saksi dan hasil ekspose perkara dengan ahli dari BPK mengenai adanya kerugiaan keuangan negara sekurang-kurangnya Rp 3,7 triliun.

Prosedur penanganan perkara dari tahap penyelidikan ke tahap penyidikan disebut sudah dilakukan sesuai KUHAP, UU Tindak Pidana Korupsi, dan UU KPK.

Pada poin ketiga, KPK menyatakan perbuatan Syafruddin melakukan penghapusan piutang petambak plasma yang seharusnya menjadi tanggung jawab Sjamsul Nurslim, bertentangan dengan Pasal 37 ayat 1 dan 2 huruf c UU Nomor 1 Tahun 2004.

Pasal 1 berbunyi, piutang negara dan daerah dapat dihapuskan secara mutlak atau bersyarat dari pembukuan, kecuali mengenai piutang negara/daerah yang cara penyelesaiannya diatur diatur tersendiri dalam undang-undang.

Sementara, Pasal 2 huruf c, penghapusan sebagaimana dimaksud ayat 1 sepanjang menyangkut piutang pemerintah pusat ditetapkan oleh Presiden dengan persetujuan DPR untuk jumlah lebih dari Rp 100 miliar.

Poin keempat, KPK menyatakan, sesuai keterangan ahli Adnan Paslyadja, menerangkan bahwa KPK berwenang untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Syafruddin.

Tindak pidana korupsi itu terjadi pada tahun 2004.

Sementara, KPK telah dibentuk sejak diundangkannya UU KPK pada tanggal 27 Desember 2002.

Poin kelima, KPK menyatakan objek penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung dan KPK adalah berbeda.

Dengan bukti yang diajukan dan keterangan saksi Kwik Kian Gie, secara tegas menyatakan perbedaan perkara yang ditangani Kejaksaan Agung terkait penyimpangan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sebesar kurang lebih Rp144 triliun.

Di dalamnya termasuk kucuran dana ke PT BDNI sebesar Rp 37 triliun atau tersangka atas nama Sjamsul Nursalim, tempus delicti tahun 1998.

"Sementara objek penyidikan KPK terkait dengan pemberian surat Pemenuhan kewajiban pemegang saham/Surat Keterangan Lunas kepada Sjamsul Nursalim kepada pemohon terkait Penghapusan piutang petani petambak sebesar Rp 4,8 triliun (tersangka atas nama pemohon, Tempus delicti 2004)," demikian KPK dalam berkas tersebut.

Seperti diberitakan, dalam penyelidikan kasus ini, KPK menemukan adanya indikasi korupsi dalam pemberian SKL kepada Sjamsul Nursalim, selaku pemegang saham pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) tahun 2004.

SKL itu terkait pemenuhan kewajiban penyerahan aset oleh sejumlah obligator BLBI kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional.

KPK menduga Syafrudin telah menguntungkan diri sendiri, orang lain atau korporasi, yang telah menyebabkan kerugian keuangan negara sekurangnya Rp 3,7 triliun.

Menurut Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan, Sjamsul sudah menerima SKL dari BPPN, meski baru mengembalikan aset sebesar Rp 1,1 triliun, dari yang seharusnya Rp 4,8 triliun.

Kompas TV Rizal Ramli diperiksa untuk tersangka Syafruddin Arsyad Temenggung, terkait kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com