JAKARTA, KOMPAS.com - Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah mengatakan, hari ini, Kamis (27/11/2017) merupakan hari ketiga biro hukum KPK menghadapi gugatan praperadilan yang diajukan Syafruddin Arsjad Temenggung (SAT).
Syafruddin merupakan tersangka dalam kasus dugaan korupsi terkait penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) dalam Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
"Soal kasus BLBI, hari ini adalah hari ketiga praperadilan yang diajukan tersangka BLBI di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Tadi kami sampaikan banyak barang bukti," kata Febri di KPK, Kuningan, Jakarta Selatan.
Adapun barang bukti yang dipaparkan, kata Febri, yakni sekitar 117 dokumen berupa surat, proses komunikasi, hingga dokumen posisi BPPN, KKSK hingga BPK.
Febri berharap, atas pemaparan bukti-bukti tersebut maka hakim memutuskan menolak permohonan praperadilan yang diajukan.
Febri menambahkan, mengenai agenda praperadilan besok, yakni Jumat, KPK akan menghadirkan satu orang ahli untuk memberikan keterangan di hadapan hakim.
"Kami ajukan ahli pidana, dikonfirmasi dari argumen pemohon praperadilan melalui kuasa hukum," kata Febri.
Febri sebelumnya mengatakan, pada permohonan praperadilan tersebut, Syafruddin, secara umum menilai KPK tidak berwenang menetapkan tersangka karena ini ranah perdata.
Selain itu, KPK dinilai tidak bisa menangani kasus yang berlaku surut, karena hanya berdasarkan Undang-Undang KPK yang disahkan tahun 2002.
Namun, menurut Febri, ruang lingkup yang dilakukan KPK adalah pada peristiwa tahun 2002-2004. KPK tidak mempersoalkan perjanjian perdata, tetapi indikasi penerbitan SKL oleh pejabat tertentu yang sebenarnya obligor penerima SKL, yakni Sjamsul Nursalim belum menulunasi kewajiban sehingga ada kerugian negara Rp 3,7 triliun.
"Praperadilan tidak akan menghentikan proses penyidikan," kata Febri.
(Baca juga: KPK Mungkinkan Adanya Tersangka Lain Dalam Kasus BLBI)
Dalam penyelidikan, KPK menemukan adanya indikasi korupsi dalam pemberian SKL kepada Sjamsul Nursalim, selaku pemegang saham pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) tahun 2004.
SKL itu terkait pemenuhan kewajiban penyerahan aset oleh sejumlah obligator BLBI kepada BPPN.
KPK menduga Syafrudin telah menguntungkan diri sendiri, orang lain atau korporasi, yang telah menyebabkan kerugian keuangan negara sekurangnya Rp 3,7 triliun.
Menurut Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan, Sjamsul sudah menerima SKL dari BPPN, meski baru mengembalikan aset sebesar Rp 1,1 triliun, dari yang seharusnya Rp 4,8 triliun.