JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden Joko Widodo sudah punya "tiket" untuk kembali mencalonkan diri dalam Pemilu Presiden 2019 mendatang.
Tiket itu berasal dari tiga partai politik yang sudah secara resmi mendeklarasikan dukungan ke Jokowi untuk menuju periode kedua.
Partai Persatuan Pembangunan secara resmi mengumumkan dukungannya dalam Musyawarah Kerja Nasional di Ancol, Jakarta, Jumat (21/7/2017) siang ini.
(Baca: PPP Deklarasi Mendukung Jokowi pada Pilpres 2019)
Pengumuman disampaikan Ketua Umum PPP Romahurmuziy dihadapan Jokowi yang hadir dalam forum itu.
Pada akhir tahun lalu, Partai Hanura juga sudah sepakat untuk mendukung Jokowi di pilpres 2019. Keputusan ini diambil dalam Musyawarah Nasional Luar Biasa Partai Hanura di Kantor DPP Hanura, Jakarta, Rabu (21/12/2016).
(Baca: Hanura Sepakat Dukung Jokowi pada 2019)
Sebelum menyerahkan tampuk kepemimpinan Partai Hanura kepada Oesman Sapta Oedang, Wiranto terlebih dulu memastikan bahwa partainya akan mendukung kembali pencapresan Jokowi.
Namun, partai yang pertama kali mengumumkan dukungan kepada Jokowi agar kembali maju sebagai capres adalah Partai Golkar.
(Baca: Golkar Pastikan Dukungan untuk Jokowi dalam Rapimnas Akhir Juli)
Partai yang mendukung Prabowo pada Pilpres 2014 ini, perlahan mengubah haluan mendukung pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla.
Setelah pergantian kepemimpinan dari Aburizal Bakrie ke Setya Novanto, Golkar semakin loyal ke pemerintah. Puncaknya, deklarasi Jokowi sebagai capres 2019 diumumkan pada penutupan Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Golkar 2016.
Memenuhi syarat
Partai pendukung pemerintah lain, yakni PDI-P, Nasdem, PAN, dan PKB, sejauh ini masih bungkam soal calon yang akan mereka usung pada Pemilu 2019. Namun, kekuatan tiga parpol saja sudah cukup bagi Jokowi untuk jadi capres lagi.
Hal ini bisa dipastikan setelah Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum resmi disahkan menjadi UU oleh pemerintah dan DPR, Jumat (21/7/2017) dini hari.
UU tersebut mengatur bahwa parpol yang hendak mengusung pasangan capres dan cawapres harus mengantongi 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah nasional.
Karena pemilu legislatif dan pemilu presiden digelar serentak, maka angka yang digunakan sebagai ambang batas adalah yang diraih pada 2014 lalu.
Namun, jika ketentuan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold ini tak dibatalkan oleh MK, maka pencalonan Jokowi akan berjalan mulus.
Jika digabungkan, kursi Golkar (91) ditambah kursi PPP (39) dan Hanura (16), totalnya berjumlah 146 kursi. Jika dipersentase dengan jumlah seluruh kursi di DPR yakni 560, maka menghasilkan angka 26 persen. Angka ini melebihi ketentuan minimal sebesar 20 persen.
Apabila menggunakan metode suara sah nasional, hasilnya tetap sama. Suara Golkar (14,75 persen) ditambah PPP (6,53 persen) dan Hanura (5,25 persen) menghasilkan angka 26,54 persen. Angka ini lebih sedikit dari angka minimum sebesar 25 persen.
Jokowi enggan menjawab
Namun, hingga saat ini belum benar-benar ada pernyataan dari Jokowi yang menegaskan bahwa ia akan kembali maju dalam pilpres 2019.
Saat berkunjung ke kediaman Prabowo pada Oktober 2016 lalu, Jokowi menyebut bisa jadi ia akan kembali bersaing dengan Ketua Umum Partai Gerindra itu dalam Pilpres 2019.
"Mungkin 2019 bisa saja ada rivalitas lagi. Namun, setelah itu, bahu-membahu lagi," ujar Jokowi.
(Baca: Di Rumah Prabowo, Jokowi Sebut 2019 Bisa Ada Rivalitas Lagi)
Meski begitu, dalam acara "Rosi" di Kompas TV pada Mei 2017 lalu, Jokowi enggan menjawab pertanyaan soal kemungkinan dirinya maju pada Pilpres 2019.
Jokowi mengaku sedang fokus mengontrol pekerjaan para menteri sekaligus mengecek kualitas program.
"Sekarang kita baru konsentrasi pada pekerjaan, (konsentrasi) pada kerja dan tugas yang diberikan rakyat kepada kita," kata Jokowi.
Jadi, hanya waktu yang dapat menjawab, kapan saat yang tepat bagi Jokowi menggunakan "tiket" Pilpres 2019.
(Baca: Apakah Jokowi Nyapres Lagi di 2019?)