JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Riset Setara Institute Ismail Hasani berpendapat bahwa aparat penegak hukum harus lebih berhati-hati dalam menggunakan delik atau pasal penodaan agama dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Menurut Ismail, delik penodaan agama rentan dimanipulasi dan tidak murni untuk kepentingan agama.
"Delik-delik penodaan agama ini rentan dimanipulasi, rentan digunakan untuk tujuan-tujuan yang tidak menjadi tujuan sesungguhnya dari adanya delik-delik penodaan agama di dalam perundang-undangan kita," ujar Ismail saat menggelar jumpa pers terkait laporan riset 'Rezim Penodaan Agama 1965-2017', di kantor Setara Institute, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Kamis (11/5/2017).
(Baca: Setara Institute Temukan Standar Ganda dalam Penuntasan Kasus Penodaan Agama)
Berdasarkan hasil riset Setara Institute tercatat ada 97 kasus penodaan agama yang terjadi dalam kurun waktu 1965 hingga 2017.
Jika ditelisik lebih jauh, kata Ismail, ada berbagai macam konteks yang melatarbelakangi seluruh kasus penodaan agama tersebut.
Menurut Ismail, sebagian besar kasus penodaan agama dilatarbelakangi konflik kepentingan, antara lain relasi sosial, relasi bisnis dan kontestasi politik.
Sementara itu dari keseluruhan kasus penodaan agama, hanya 10 kasus yang berdasarkan konflik keagamaan dan 22 kasus terkait polemik pemahaman keagamaan.
(Baca: Dinilai Jadi Alat Kriminalisasi, Pasal Penodaan Agama Diminta Dihapus)
"Penegakan hukum penodaan agama ini semua dilatarbelakangi oleh konflik yang tidak murni dalam konteks membela kepentingan agama," ucap Ismail.
"Bisa dikatakan dari 97 kasus yang mengemuka, sebagian besarnya dilatarbelakangi oleh konflik. Karena itu dia sebenarnya tidak obyektif kalau kita katakan sebagai peristiwa hukum yang memenuhi delik. Tetapi faktanya sebagian besar kasus-kasus itu pula masuk ke peradilann," tambahnya.