JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Sekretaris Jenderal DPP Partai Golkar Ace Hasan Syadzily menilai perlu ada ambang batas mengusung calon presiden atau "presidential threshold" untuk memperkuat pemerintahan.
Jika tidak, dia khawatir kekuatan parlemen yang menentang kebijakan pemerintah justru lebih besar.
"Presidential threshold 25 persen suara dan 20 persen kursi menunjukkan dukungan ke presiden. Presiden harus didukung partai yang sudah teruji di pemilu sebelumnya," ujar Ace, dalam diskusi Perspektif Indonesia di Jakarta, Sabtu (6/5/2017).
Anggota Komisi II DPR RI itu mengatakan, jangan sampai kebijakan pemerintah dijegal oleh DPR RI hanya karena presiden tak memiliki dukungan kuat dari parlemen.
"Jadi siapapun yang terpilih bisa didukung parlemen yang kuat," kata dia.
Alasan Golkar mendorong adanya ambang batas yakni untuk memperkuat sistem presidensial. Namun, nyatanya, saat ini seolah yang terbentuk adalah sistem parlementer.
"Begitu dominannya parlemen untuk mengambil keputusan negara karena tidak solid dukungan pemerintahan, ya terjadi seperti ini," kata Ace.
Menurut Ace, pemerintahan bisa berjalan efektif jika sejak awal konfigurasi dukungan politik di parlemen kuat. Konfigurasi tersebut, kata dia, terbentuk sejak pemilu serentak periode sebelumnya.
"Sejak pendaftaran capres, pengelompokkan politik sudah jelas. Kami harap dengan pengelompokkan tidak hanya proses pemetaan kelembagaan politik, tapi juga penguatan presidensialisme," ucap Ace.
(baca: Ini Alasan Pemerintah Dorong "Presidential Threshold" 20-25 Persen )
Menurut Ace, dari 10 fraksi di DPR, hanya empat fraksi yang mendukung Pemilu 2019 berlangsung tanpa adanya ambang batas mengusung calon presiden, yaitu Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional, Partai Gerindra, dan Partai Hanura.
Selebihnya tetap menghendaki adanya ambang batas untuk mengusung calon presiden.