Masalahnya, garis pembatas antara mengawasi dan mendorong kepentingan politik DPR sangat tipis sehingga ukurannya harus kasuistis. Dalam kasus KTP-el ini, yang perlu dijadikan batu uji adalah kepentingan langsung DPR dalam kasus ini dan dampaknya bagi proses penegakan hukum.
Mengacaukan proses penegakan hukum
Anggota DPR punya kepentingan langsung yang sangat kuat dalam kasus KTP-el. Sudah banyak nama anggota yang disebut dalam sidang pengadilan, sebab alokasi anggaran proyek KTP-el tentu saja membutuhkan persetujuan DPR.
Kepentingan langsung ini bahkan tak bisa ditutupi dalam naskah pengajuan hak angket yang dibahas dalam rapat paripurna 28 April lalu. Tertulis jelas dalam naskah tersebut, DPR secara khusus menyoroti "persoalan pencabutan BAP oleh Sdri Miryam S Haryani dalam persidangan kasus E-KTP karena dugaan mendapat tekanan dari 6 (enam) anggota Komisi III DPR RI.. hal tersebut menjadi polemik di masyarakat dan menempatkan DPR RI dalam sorotan sebagai lembaga yang tidak pro terhadap program pemberantasan korupsi".
Terlihat jelas kepentingan DPR untuk melindungi lembaganya meski langkah ini justru semakin menurunkan wibawa DPR di mata publik. Konflik kepentingan DPR sangat jelas sehingga permintaan ini sebenarnya sudah melanggar etik.
Naskah pengajuan hak angket memang menuliskan pula hal-hal lainnya, seperti dugaan konflik internal di tubuh KPK dan tata kelola informasi publik. Namun, bukankah hal-hal tersebut dapat diurai dan dijelaskan dalam rapat dengar pendapat biasa dan tidak memerlukan hak angket?
Seperti dijelaskan di atas, memang salah satu pembeda terpenting hak angket adalah kekuatannya untuk memaksa dan menekan. Indikasi kepentingan ini juga bisa kita lihat dari rangkaian peristiwa yang mendahuluinya.
Diungkapkan dalam "Diskusi Satu Meja" yang diulas juga oleh harian Kompas (Selasa, 25 April 2017), hal-hal tersebut sudah disetujui untuk ditindaklanjuti oleh KPK dalam rapat dengar pendapat 17-18 April 2017.
Pada saat itu, KPK hanya menolak menyetujui poin keempat, yaitu untuk membuka rekaman pemeriksaan Miryam S Haryani. Alasannya, rekaman itu sudah merupakan bagian dari proses penegakan hukum.
Memang, permintaan rekaman pemeriksaan dalam proses penyidikan sebenarnya dapat mengacaukan proses penegakan hukum.
Jika proses penyidikan dapat dibuka dengan mudah, apalagi oleh lembaga politik, langkah-langkah maupun argumentasi hukum yang sedang disiapkan oleh lembaga penegak hukum terbaca dengan jelas. Akibatnya, bisa ada langkah-langkah hukum sampingan, seperti pencemaran nama baik, yang akan membuyarkan fokus penegak hukum pada kasus utamanya.
Bahkan, bisa jadi ada langkah menyembunyikan ataupun mencelakakan pihak-pihak yang dianggap bisa membahayakan posisi aktor tertentu. Harus diingat, kasus KTP-el ini melibatkan banyak aktor politik kelas kakap dan aktor pendukung modal di belakangnya.
Karena itulah, bahkan dalam UU tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU No 14/2008) dinyatakan bahwa informasi yang dapat menghambat proses penegakan hukum dikecualikan sebagai informasi yang bisa diakses oleh publik. Informasi semacam ini hanya dapat dibuka oleh penegak hukum semata-mata untuk tujuan penegakan hukum.
Jika mau dibuka, ruang pengadilanlah tempatnya. Salah satu acuannya adalah rekaman pemeriksaan terkait kasus "Cicak-Buaya" yang diperdengarkan di Mahkamah Konstitusi. Jelas, ruang sidang DPR bukan tempatnya.
Tidak hanya dari segi substansi, dari segi prosedur pun keputusan dalam rapat paripurna tersebut sesungguhnya tidak sah karena tidak sesuai dengan prosedur pengambilan keputusan di DPR.