Dan ketiga, pembatasan tersebut juga diperlukan dalam masyarakat yang demokratis.
Selain wajib memenuhi ketentuan–ketentuan pembatasan tersebut, perumusan ketentuan pidana harus memenuhi 3 prinsip penting yaitu lex scripta (harus dinyatakan secara tertulis), lex certa (dirumuskan dengan rinci), dan lex sctricta (tidak menimbulkan penafsiran lain).
"Dalam konteks tersebut, yang seharusnya dilindungi adalah hak masyarakat untuk menjalankan agama atau kepercayaannya berdasarkan pilihan hati nuraninya," demikian ICJR.
Oleh karena itu, dalam konteks kebebasan berekspresi, diatur kewajiban yang tegas.
Menurut ICJR, selain rumusan ketentuan penodaan agama yang kabur dan tidak mempunyai kejelasan tujuan, praktik penegakan hukum di Indonesia juga memiliki masalah tersendiri.
Dalam praktiknya, ketentuan penodaan agama justru menghambat pemeluk agama atau kepercayaan yang berbeda, terutama kalangan minoritas, untuk menjalankan agama atau kepercayaannya tersebut.
ICJR menilai, dalam kasus–kasus penodaan agama, praktik pengadilan tidak bergerak dari asumsi dasar, bahwa ukuran benar atau tidak terjadinya penodaan agama dilihat dari tafsir organisasi keagamaan.
Oleh karena itu, ICJR mengusulkan agar pasal penodaan agama dalam Rancangan KUHP sebaiknya dihapus saja.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.