KOMPAS.com – Sejarah demonstrasi dan pawai buruh setiap “May Day” alias Hari Buruh pada 1 Mei, jamak dikaitkan dengan paham komunisme, bahkan negara komunis.
Terlebih lagi, ada lagu “The Internationale” yang seolah jadi tembang wajib setiap gerakan buruh, termasuk peringatan “May Day”.
Lalu, betulkah sejarah peringatan Hari Buruh ini berawal dari negara berhaluan komunis? Apakah perjuangan buruh juga hanya berurusan dengan pekerjaan kasar?
Ternyata salah, saudara-saudara...
Eric Chase dalam tulisannya yang dimuat di situs web Industrial Workers of The World (IWW) pada 1993, meringkaskan asal-usul “May Day” ini.
“Amerika banget!” tulis Chase dalam terjemahan bebasnya, soal awal mula Hari Buruh.
Semua bermula pada abad ke-19, tepatnya pada 1860. Itu pun, arak-arakan dan demonstrasi buruh dalam skala besar, yang lalu jadi tonggak peringatan May Day, tercatat baru berlangsung pada 1886.
Tuntutan utama yang didesakkan lewat aksi mogok massal para buruh dan pekerja saat itu di sana adalah pemangkasan waktu kerja.
Mereka meminta jam kerja per hari dikurangi menjadi 8 jam, dari semula jamak melebihi 10 jam bahkan ada yang sampai 16 jam.
Tak cuma soal Amerika
Aksi mogok pekerja besar-besaran yang patut disebut berikutnya sebagai tonggak penting May Day adalah aksi pada 1926 di London. Sebutannya “general strike”.
Bila aksi di Amerika dimotori oleh pekerja di industri logam, aksi di London bermula dari kawasan tambang. Namun, seperti halnya di Amerika, hampir semua industri lain ikut turun ke jalan dan mogok kerja mendukung para pekerja tambang memperjuangkan nasib.
Kisah perjuangan para pekerja tambang memperbaiki nasib dan kedudukan sosial sebelum aksi besar di London tersebut antara lain diangkat dalam novel tebal karya Ken Follet, Fall of Giants.
Novel fiksi ini rinci menyisipkan tokoh dan peristiwa nyata dalam sejarah pergerakan kaum pekerja itu, sebagai bagian dari trilogi “Century”, berseling dengan kisah Perang Dunia I.
Aksi besar pada Mei 1926 ditahbiskan para pencatat sejarah sebagai gerakan massal pertama di Inggris. Pada tahun yang sama, aksi mogok pekerja juga sempat melumpuhkan negara itu pada pengujung penanggalan kalender.
Dari London pula ada catatan yang perlu disimak buat para pekerja kantoran yang suka lupa kalau dirinya adalah buruh juga. Catatan itu berupa aksi mogok pekerja media ternama dari sana, The Times, gara-gara modernisasi yang salah satu risikonya adalah pengurangan pegawai.
Lahir pada 1785 sebelum berganti nama menjadi The Times pada 1788, koran ini tidak terbit sejak 1 Desember 1978 sampai 12 November 1979 karena sengketa dengan buruh.
Harian Kompas sampai memuat Tajuk Rencana soal hal ini pada edisi 4 Desember 1978 dan mencatat “drama” tersebut dalam pemberitaan hariannya, hingga akhirnya The Times terbit lagi.
Catatan menarik dari tajuk tersebut, reaksi orang atas henti terbitnya The Times tak cuma datang dari sesama buruh. Disebutkan, pembaca koran itu sampai bernazar karena berpendapat hidup orang Inggris tak akan lagi beradab bila The Times tidak terbit kembali.
Marsinah dan libur nasional
Di Indonesia, isu perburuhan tampaknya baru meluas terkabarkan setelah mencuat sosok bernama Marsinah. Perjuangannya mengangkat harkat buruh di pabrik tempatnya kerja, berakhir dengan kematian.
Harian Kompas mulai menurunkan kisah Marsinah pada edisi 27 Mei 1993, dengan YLBHI sebagai narasumber utama.
Nah, upah ini tak cuma berdampak pada buruh di pabrik yang kerap dianggap pekerja rendahan oleh orang-orang nyinyir. Gaji pekerja kantoran yang kinyis-kinyis di ruang berpengatur suhu juga tak boleh lebih rendah dari ketentuan upah minimum ini.
Jangan lupa pula catatan panjang aksi para buruh, sejak era Orde Baru sampai sesudah reformasi. Salah satu momentum besarnya adalah aksi pada 2010 saat 150.000 buruh turun ke jalan dan memicu segera rampungnya ketentuan soal Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS).
BPJS merupakan amanat lanjutan dari Sistem Jaminan Sosial Nasional yang diteken Pemerintah pada 2004. Di belakang semua proses itu, ada aksi-aksi buruh yang terus menjaga gelombang perbaikan kesejahteraan.
Satu lagi hasil yang juga datang dari aksi para buruh, 1 Mei menambah satu lagi jadwal libur nasional. Ditetapkan pada Juli 2013 lewat Peraturan Presiden, hari libur ini sayangnya sempat terasa sebagai upaya Pemerintah meredam kenyinyiran kelas menengah saja.
Orang-orang kantoran yang rajin ketak-ketik di media sosial ditengarai lebih merasa terganggu oleh kemacetan jalanan selama aksi buruh daripada menyadari di langkah kaki pekerja-pekerja itu besaran gaji kita tahun depan ditentukan.
Kalau merujuk ke ujaran Jawa, “jer basuki mawa bea”, setiap usaha butuh pengorbanan. Nah, kalau sekiranya lagi ada di posisi terlalu nyaman untuk beranjak memperjuangkan nasib sendiri boro-boro punya orang banyak, tak perlu juga nyinyir tanpa arah, bukan?
Terlebih lagi bila ternyata ikut menikmati upaya orang lain....
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.