Ironisnya, pada 4 April 2017, Sidang Paripurna DPD yang dipimpin oleh pimpinan sementara DPD (anggota tertua AM Fatwa dan anggota termuda Riri Damayanti) ternyata melakukan perubahan atas Tatib DPD No 1 Tahun 2017 menjadi Tatib DPD No 3 Tahun 2017. Padahal, Tatib No 1 Tahun 2017 sudah dibatalkan MA dan telah pula dicabut oleh pimpinan DPD periode 2014-2019.
Tatib DPD No 3 Tahun 2017 tersebut dijadikan dasar oleh Wakil Ketua MA Suwardi untuk melakukan pemanduan sumpah jabatan terhadap Oesman Sapta Odang, Nono Sampono, dan Darmayanti Lubis yang "seolah-olah" dipilih berdasarkan Tatib No 3 Tahun 2017 itu. Pada titik ini terlihat bahwa sebagian anggota DPD berupaya mengelabui publik dengan seolah-olah terjadi pemilihan setelah tatib DPD diubah untuk menyesuaikan dengan putusan MA. Padahal, kalaupun hal itu dianggap benar, juga tidak bisa digunakan sebagai landasan untuk pemilihan kembali pimpinan. Perubahan tatib itu justru makin melegitimasi bahwa masa jabatan pimpinan DPD hingga 2019. Memotong masa jabatan setelah keluarnya putusan MA bukan lagi problem etis, melainkan sudah soal yuridis.
(Baca juga: "Percuma Kalau DPD Diperkuat tetapi Hanya Sibuk Berkonflik")
Jalan hukum
Kendati gugatan terhadap keberadaan pimpinan ilegal mulai menepi, pihak-pihak yang dirugikan lebih menempuh jalan sunyi, tetapi sama sekali hal ini tidak boleh dianggap sepi. Akan menjadi paradoks luar biasa bagi negara hukum jika ini dibiarkan. Hal ini akan menjadi pelajaran buruk bagi bangsa ini: tak perlu patuh hukum, yang penting kekuasaan besar.
Tidak bisa tidak, pihak-pihak yang merasa dirugikan, termasuk masyarakat, harus mencari jalan hukum untuk menggugat soal ini. Beberapa alternatif jalan hukum yang bisa diambil, misalnya, menggugat tatib DPD yang dijadikan dalih untuk menggelar pemilihan, menggugat ke pengadilan tata usaha negara, membawa soal ini ke pengadilan negeri, dan sebagainya. Intinya harus ada perlawanan terhadap kesewenang-wenangan ini.
Salah satu alternatif yang bisa dipikirkan adalah mengajukan kasus ini ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mengapa MK? Apabila diajukan ke pengadilan di bawah MA mungkin saja, misalnya ke PTUN (menggugat SK DPD soal pimpinan) atau pengadilan negeri (perbuatan melawan hukum). Namun, soalnya, apakah pengadilan di bawah MA "berani" mengoreksi tindakan pimpinan MA, dalam hal ini Wakil Ketua MA Suwardi yang telah memandu sumpah pimpinan ilegal. Selain itu, kasus-kasus yang ditangani MA dan pengadilan di bawahnya sering tidak berkepastian dari sisi waktu.
Membawa kasus ini ke MK sebagai sengketa kewenangan lembaga negara memang sedikit kontroversial, tetapi diperlukan sebagai sebuah terobosan hukum. Selama ini kerap dipahami bahwa sengketa kewenangan harus melibatkan sedikitnya dua lembaga negara yang kewenangannya diberikan konstitusi. Padahal, Pasal 24C UUD 1945 sendiri hanya menyebut sengketa kewenangan lembaga negara, bukan sengketa kewenangan antarlembaga negara. Artinya, konflik internal lembaga sebagaimana yang membelit DPD seharusnya dapat pula dibawa ke MK untuk diselesaikan.
Penyelesaian oleh MK akan jauh lebih efektif dan efisien jika dibandingkan dengan penyelesaian oleh lembaga peradilan non-MK, yang sering harus bertingkat-tingkat. Soalnya, apakah MK mau menyambut tanggung jawab ini. Pada titik ini penting diingat pernyataan Arthur Schlesinger Jr yang memperkenalkan istilah judicial activism bagi pengadilan (1947). Menurut dia, the court cannot escape politics: therefore, let it use its political power for wholesome social purposes (pengadilan tidak bisa melepaskan diri dari politik: karena itu biarkan pengadilan menggunakan kekuatan politiknya untuk tujuan sosial yang baik).
Apa pun jalan hukum yang harus diambil, fenomena pemilihan pimpinan DPD tersebut tidak boleh berlalu begitu saja. Negara ini adalah negara hukum. Kendati sering diinjak-injak dan ditepikan, hukum dan kebenaran tetap harus diperjuangkan. Kekuasaan tidak boleh lebih berkuasa dari hukum karena sudah sejak merdeka negeri ini berdeklarasi bukan sebagai negara kekuasaan.
Refly Harun,
Akademisi dan Praktisi Hukum Tata Negara; Mengajar di Program Pascasarjana UGM, Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang, Universitas Andalas, dan Universitas Esa Unggul
---
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 April 2017, di halaman 6 dengan judul "Legalitas Pimpinan DPD".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.