(baca: "Keributan" di DPD Belum Berakhir, Dua Kubu Pimpinan Saling Klaim Sah)
Interupsi tetap dilancarkan, hingga tiba-tiba lagu Indonesia Raya mengalun. Rapat pun kembali diskors karena baru dihadiri 42 orang.
Seusai rapat dibuka kembali, interupsi masih terus bersahutan. Oesman Sapta mengusulkan agar interupsi diajukan secara sistematis dan hanya anggota yang menandatangani daftar hadir yang berhak mengajukan interupsi.
Namun, rapat juga memperdebatkan soal hak peserta yang bisa mengajukan interupsi.
Oesman Sapta bahkan sempat menegur anggota yang memanggilnya dengan sebutan "Pak OSO".
"Ini pimpinan sidang. Bukan Pak OSO. Nanti saya kasih peringatan dua kali," tutur Oesman Sapta.
"Mohon dibaca tatibnya," sahut suara lainnya.
"Siapa yang sah siapa yang tidak."
"Yang dilantik MA yang sah."
Keributan bahkan sempat terjadi saat doa hendak dibacakan. Sebab, senator yang membacakan doa menyinggung soal ricuh DPD.
Ia mengungkapkan harapan agar suasana rapat menjadi lebih damai.
"Baca doa langsung saja. Enggak usah dipolitisasi doanya," ujar salah satu anggota.
Sejumlah anggota sempat melancarkan protes yang lebih keras. Mereka membawa karton putih dengan berbagai macam tulisan penolakan.
Usai menunjukkan karton tersebut ke seisi rapat dan awak media, mereka keluar dari ruang sidang.
Meski begitu, rapat tetap dilanjutkan. Adapun salah satu agenda rapat paripurna DPD kali itu adalah pidato pembuka masa sidang dan penyampaian ikhtisar hasil pemerikaaan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK).
Ricuh DPD terjadi karena adanya pro dan kontra pemilihan pimpinan baru DPD.
Pro dan kontra dipicu dengan keluarnya putusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan Tata Tertib DPD Nomor 1 Tahun 2016 dan 2017.
Padahal, tata tertib tersebut mengatur soal masa kepemimpinan DPD yakni 2,5 tahun. Pimpinan lama merasa masih sah menjadi pimpinan.