Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rapat Komisi II dan Pansel KPU-Bawaslu yang Bernuansa Personal...

Kompas.com - 31/03/2017, 06:49 WIB
Nabilla Tashandra

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi II DPR memberondong Tim Panitia Seleksi Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dengan pertanyaan soal proses dan hasil seleksi.

Namun, mayoritas pertanyaan mengerucut pada satu poin, yakni alasan di balik tersingkirnya lima anggota Bawaslu periode 2012-2017 yang kembali mencalonkan diri, terutama Ketua Bawaslu, Muhammad.

erbSejumlah anggota DPR menilai, hasil itu berbanding terbalik dengan lima anggota KPU periode 2012-2017 yang kembali mendaftarkan diri.

Lima anggota KPU tersebut lolos seluruhnya.

Anggota Komisi II dari Fraksi Partai Demokrat, Zulkifli Anwar, misalnya, secara eksplisit mempertanyakan alasan Pansel tak meloloskan Muhammad.

"Menurut saya, Beliau cukup baik, cakap dan menguasai. Prof Muhammad. Saya lihat dia enggak lolos," ujar Zulkifli Anwar, pada Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi II dengan pansel KPU-Bawaslu di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (30/3/2017).

(Baca: DPR Pertanyakan Alasan Pansel Tak Loloskan Ketua Bawaslu)

Hal senada diungkapkan Anggota Komisi II dari Fraksi PAN, Yandri Susanto. Hasil seleksi pansel dirasakannya janggal.

Ia menilai kinerja Bawaslu selama ini cukup baik.

"Masa sih Ketua Bawaslu enggak lolos? Tapi saya mau konfirmasi, di mana letaknya Ketua Bawaslu tidak lolos? Di tahap mana dia tidak lolos, Pak? Apa yang menyebabkan dia tidak lolos? Ketua Bawaslu yang selama ini sudah ter-publish kinerjanya," ujar Yandri.

Sementara itu, Anggota Komisi II dari Fraksi Partai Gerindra, Suasana Dachi menganggap keputusan Pansel tidak meloloskan lima anggota Bawaslu seolah menyatakan bahwa kerja Bawaslu selama ini tak beres.

Ia juga menyayangkan komunikasi Pansel yang kurang baik dengan Komisi II.

Komisi II merasa tak dilibatkan sejak awal dan tak mendapat laporan soal proses seleksi.

"Pansel kerja dengan diri sendiri dan tidak menghargai instruksi DPR. Kalau begini yang dibangun Pansel, saya ragu dan saya ajukan ke pimpinan untuk mempertimbangkan untuk menerima 14 dan 10 nama itu," kata Dachi.

Adapun, Anggota Komisi II dari Fraksi PDI Perjuangan Arif Wibowo berharap, pada rapat paripurna DPR 6 April mendatang, sudah terpilih seluruh anggota baru KPU dan Bawaslu.

"Kami harapkan paripurna tanggal 6 semuanya sudah bisa terpilih. Kalau semuanya, 7 KPU dan 5 Bawaslu," kata Arif.

(Baca: Dicecar DPR karena Tak Loloskan Komisioner Bawaslu, Ini Jawaban Pansel)

Nuansa personal

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai, Komisi II kurang mengelaborasi kerja Pansel.

Pertanyaan-pertanyaan mengenai alasan meloloskan nama-nama calon adalah hal yang biasa.

Namun, hal itu menjadi tak biasa ketika suasana menjadi personal.

"Rapat tadi kurang mengelaborasi kerja Timsel dan lebih banyak seolah olah menjadi ruang untuk memperjuangkan nama-nama tertentu," kata Titi.

Rapat tersebut, kata dia, seharusnya mendalami sejumlah catatan Pansel yang perlu diperhatikan oleh Komisi II jelang pelaksanaan fit and proper test.

Pendekatan yang digunakan seharusnya pendekatan kelembagaan, bukan kemasan personal.

Hal yang sama pernah terjadi pada seleksi Komisioner KPU-Bawaslu sebelumnya. Meski ada hal-hal yang dipertanyakan, namun proses fit and proper test tetap berjalan dengan baik.

Misalnya, pada 2012 lalu, empat anggota Bawaslu yang kembali mendaftar tak lolos seluruhnya, yakni Bambang Eka Cahya Widodo, Nur Hidayat Sardini, Wahidah Syuaib, dan Agustiani Tio Federina Sitorus.

"Tapi tidak ada yang bisa mengguncang Komisi II sampai seperti sekarang," ujar Titi.

Kondisi serupa terjadi pada pemilihan komisioner KPU di 2007. Sejumlah nama yang ahli di bidang kepemiluan juga tak lolos dan hal itu dipertanyakan.

Mereka adalah Ramlan Surbakti, Hadar Nafis Gumay, Indra J Piliang, Didik Supriyanto, dan Probo Nurjaman.

Namun, fit and proper test tetap berjalan.

"Jadi kalau pertanyaannya itu terkesan sangat personal, itu kan jadi pertanyaan publik. Apakah DPR stigmanya seolah selera politik nasional yang jadi perjuangan dan bukan indikator untuk mewujudkan penyelenggara negara yang betul-betul berkualitas," papar Titi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com