Apabila melihat perbedaan selisih hasil yang diperoleh pasangan calon dengan pasangan calon lainnya, baik di media cetak maupun media elektronik, menurut penulis, banyak pilkada yang tidak akan berlanjut pada gugatan di Mahkamah Konstitusi mengingat persentase selisih suara yang sangat jauh di atas 2 persen.
Hal ini tentu akan mengakibatkan adanya penurunan jumlah gugatan sengketa hasil pilkada di Mahkamah Konstitusi.
Namun, yang pasti, terhadap pasangan calon yang persentase selisih perolehan suaranya sesuai dengan Pasal 158 UU No 8/2015, bukan tidak mungkin mereka berpeluang untuk memenangi sengketa atau Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan perselisihan hasil pilkada yang diajukan oleh pasangan calon.
Hal itu tentunya jika didukung oleh argumentasi dan bukti-bukti yang memadai berkaitan dengan kedudukan hukum, obyek permohonan, dan pokok permohonan yang dimohonkan.
Di sisi lain, Mahkamah Konstitusi juga diharapkan tidak mengabaikan tuntutan keadilan substantif, yakni dengan tetap memeriksa secara menyeluruh perkara yang telah memenuhi persyaratan tenggang waktu, kedudukan hukum, obyek permohonan, dan jumlah persentase selisih perolehan suara antara pemohon, termohon, dan pihak terkait lainnya.
Dengan adanya sarana hukum yang baik dalam hal ini melalui permohonan perselisihan hasil pilkada kepada Mahkamah Konstitusi, diharapkan pelaksanaan demokrasi di daerah menjadi semakin kondusif dan jauh dari segala bentuk kerusuhan dan main hakim sendiri. Semoga.
Saiful Anam,
Ketua Komite Hukum Mata Garuda Institute; Praktisi dan Akademisi Hukum Tata Negara; Kandidat Doktor Ilmu Hukum Tata Negara Universitas Indonesia
---
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Maret 2017, di halaman 7 dengan judul "Penyelesaian Sengketa Pilkada di MK".
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.