Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

KPK Siap Uraikan Aliran Dana E-KTP ke Partai Politik

Kompas.com - 14/03/2017, 07:37 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) siap menguraikan lebih lanjut pada proses persidangan terkait aliran dana proyek pengadaan KTP Elektronik (proyek e-KTP) yang dialokasikan kepada partai politik tertentu.

"Memang ada bagian dalam dakwaan di mana dijelaskan di sana salah seorang saksi menyampaikan kepada terdakwa bahwa ada rencana atau akan dialokasikan sejumlah dana sekitar Rp 500 miliar yang disebut oleh seorang saksi tersebut ada alokasi kepada partai politik tertentu dan sejumlah orang," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di gedung KPK, Jakarta, Senin (13/3/2017).

Tentu saja, kata Febri, rencana dan alokasi itu akan diuraikan lebih lanjut pada proses persidangan mengenai sejauh mana realisasi dari rencana tersebut.

"Selanjutnya, tentu kami akan lihat lebih jauh kalau memang ada realisasinya, realisasinya sudah diterima siapa saja apakah organisasi yang menerima dalam hal ini institusi atau pun personal-personal yang ada di institusi tersebut," tuturnya.

Hal tersebut, menurut Febri perlu dibedakan lebih lanjut karena jika bicara soal pidana korporasi maka akan bicara banyak hal.

"Apalagi terkait dengan partai politik tentu kami juga perlu pertimbangkan Undang-Undang tentang Partai Politik di satu sisi dan di sisi lain Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi," ucapnya.

Ia mengatakan, KPK tidak ingin berandai-andai dan akan dilakukan klarifikasi kembali beberapa informasi yang sudah ada didakwaan kasus proyek e-KTP itu.

"Kemajuannya bagaimana dan hal yang lebih rinci dari klarifikasi itu nanti bisa kita lihat bersama-sama di persidangan," kata dia.

Sebelumnya, KPK dijadwalkan menghadirkan delapan saksi dalam sidang kedua terkait tindak pidana korupsi e-KTP tahun anggaran 2011-2012.

(Baca: KPK Hadirkan 8 Saksi pada Persidangan Kedua Kasus E-KTP)

"Karena tidak ada eksepsi dari pihak terdakwa kami berencana akan menghadirkan delapan saksi dalam persidangan kedua. Belum kami bisa sebutkan namanya," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di gedung KPK, Jakarta, Jumat (10/3).

Ia  mengatakan dari koordinasi yang sudah dilakukan KPK bahwa pemeriksaan saksi-saksi akan dilakukan dalam 90 hari kerja ke depan.

"Jadi, 90 hari kerja ke depan mulai dari pembacaan dakwaan, kami akan hadirkan total 133 saksi pada persidangan," tuturnya.

Menurut dia, KPK akan mendalami beberapa fakta-fakta yang memang sudah dimunculkan dalam dakwaan dan informasi-informasi lain yang kami harap bisa selesai dalam waktu 90 hari kerja.

Dalam persidangan pertama terungkap ada puluhan anggota DPR periode 2009-2014, pejabat Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), staf Kemendagri, auditor BPK, swasta hingga korporasi yang menikmati aliran dana proyek e-KTP tersebut.

Pemeriksaan saksi nantinya juga untuk membuktikan imbalan yang diperoleh oleh anggota DPR dan pihak lain karena menyetujui anggaran e-KTP pada 2010 dengan anggaran Rp 5,9 triliun yang proses pembahasannya.

Adapun kesepakatan pembagian anggarannya adalah: Pertama, 51 persen atau sejumlah Rp 2,662 triliun dipergunakan untuk belanja modal atau riil pembiayaan proyek.

Kedua, Rp 2,558 triliun akan dibagi-bagikan kepada beberapa pejabat Kemendagri termasuk Irman dan Sugiharto sebesar 7 persen atau Rp 365,4 miliar.

Lalu, anggota Komisi II DPR sebesar 5 persen atau sejumlah Rp 261 miliar, Setya Novanto dan Andi Agustinus sebesar 11 persen atau sejumlah Rp 574,2 miliar, Anas Urbaningrum dan M Nazarudin sebesar 11 persen sejumlah Rp 574,2 miliar.

Sedangkan keuntungan pelaksana pekerjaan atau rekanan sebesar 15 persen sejumlah Rp 783 miliar.

(Baca juga: Menyusuri Jejak Lama Bau Busuk Proyek E-KTP...)

Terdakwa dalam kasus ini adalah Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Pejabat Pembuat Komitmen pada Dukcapil Kemendagri Sugiharto.

Atas perbuatannya, Irman dan Sugiharto didakwa berdasarkan pasal 2 ayat (1) atas pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara.

Selanjutnya memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp 1 miliar.

(Benardy Ferdiansyah/ant)

Kompas TV Desakan mundur bagi pejabat yang terjerat kasus korupsi E-KTP terus disuarakan oleh beberapa elemen masyarakat.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Golkar: 'Presidential Club' Bisa Permudah Prabowo Jalankan Pemerintahan

Golkar: "Presidential Club" Bisa Permudah Prabowo Jalankan Pemerintahan

Nasional
Jokowi Diprediksi Gandeng Prabowo Buat Tebar Pengaruh di Pilkada 2024

Jokowi Diprediksi Gandeng Prabowo Buat Tebar Pengaruh di Pilkada 2024

Nasional
Kans Parpol Pro Prabowo-Gibran Dengarkan Jokowi Tergantung Relasi

Kans Parpol Pro Prabowo-Gibran Dengarkan Jokowi Tergantung Relasi

Nasional
Demokrat Yakin Jokowi-Megawati Bisa Bersatu di 'Presidential Club'

Demokrat Yakin Jokowi-Megawati Bisa Bersatu di "Presidential Club"

Nasional
Sebut SBY Setuju Prabowo Bentuk 'Presidential Club', Demokrat: Seperti yang AS Lakukan

Sebut SBY Setuju Prabowo Bentuk "Presidential Club", Demokrat: Seperti yang AS Lakukan

Nasional
Jokowi Diperkirakan Bakal Gunakan Pengaruhnya di Pilkada Serentak 2024

Jokowi Diperkirakan Bakal Gunakan Pengaruhnya di Pilkada Serentak 2024

Nasional
Soal Kemungkinan Gabung Koalisi Prabowo, Cak Imin: Kita Lihat pada 20 Oktober

Soal Kemungkinan Gabung Koalisi Prabowo, Cak Imin: Kita Lihat pada 20 Oktober

Nasional
Kementerian PPPA Akan Dampingi Anak Korban Mutilasi di Ciamis

Kementerian PPPA Akan Dampingi Anak Korban Mutilasi di Ciamis

Nasional
'Orang Toxic Jangan Masuk Pemerintahan, Bahaya'

"Orang Toxic Jangan Masuk Pemerintahan, Bahaya"

Nasional
Prabowo Perlu Waktu untuk Bertemu, PKS Ingatkan Silaturahmi Politik Penting bagi Demokrasi

Prabowo Perlu Waktu untuk Bertemu, PKS Ingatkan Silaturahmi Politik Penting bagi Demokrasi

Nasional
Soal Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Bukan Cuma Harapan Pak Luhut

Soal Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Bukan Cuma Harapan Pak Luhut

Nasional
Halal Bihalal Akabri 1971-1975, Prabowo Kenang Digembleng Senior

Halal Bihalal Akabri 1971-1975, Prabowo Kenang Digembleng Senior

Nasional
Anggap “Presidential Club” Positif, Cak Imin:  Waktunya Lupakan Perbedaan dan Konflik

Anggap “Presidential Club” Positif, Cak Imin: Waktunya Lupakan Perbedaan dan Konflik

Nasional
Anggap Positif “Presidential Club” yang Ingin Dibentuk Prabowo, Cak Imin: Pemerintah Bisa Lebih Produktif

Anggap Positif “Presidential Club” yang Ingin Dibentuk Prabowo, Cak Imin: Pemerintah Bisa Lebih Produktif

Nasional
Jokowi Gowes Sepeda Kayu di CFD Jakarta, Warga Kaget dan Minta 'Selfie'

Jokowi Gowes Sepeda Kayu di CFD Jakarta, Warga Kaget dan Minta "Selfie"

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com