Opini yang muncul tak lain adalah merupakan representasi tuntutan ketidaksabaran masyarakat dan pemerintah agar lembaga-lembaga bentukan tersebut bisa efektif menyelesaikan masalah-masalah yang ada. Ketika tugas tersebut tak kunjung dilaksanakan, masyarakat dan media pun kecewa dan tidak percaya terhadap eksistensi lembaga-lembaga negara independen.
Pada sisi lain, masyarakat kerap abai dengan pelembagaan lembaga negara independen adalah komitmen pemerintah, yang repotnya umumnya masalah tersebut adalah klasik yaitu dana operasional yang semestinya sudah dianggarkan melalui APBN atau APBD.
Dalam kasus KPU DKI, banyak pihak lupa atau justru abai bahwa lembaga yang vital dalam penyelenggaran pesta demokrasi itu pada Agustus 2015 pernah harus nyaris terusir dari kantor mereka di jalan Budi Kemuliaan, Jakarta Barat hingga akhirnya dapat menempati kantor saat ini di Salemba Raya pada Juli 2016.
Itupun, dana renovasi gedung berasal dari dana pengembang akibat keterlambatan KPU DKI memasukkan usulan anggaran ketika APBD 2016 sudah berjalan. Kisah miris, karena tahapan Pilkada 2017 dimulai pada Agustus 2016. Dengan kondisi tersebut, kualitas kerja apa yang bisa dihasilkan dari persiapan yang sangat pendek tersebut.
Sayangnya, tantangan struktural tersebut gagal direpresentasikan oleh KPU DKI sebagai persoalan mendesak melalui media kepada publik untuk menggandeng pelibatan masyarakat sipil sebagai kekuatan utama penyelenggaraan Pemilu serupa Pemilu 1999.
Dengan kondisi saat ini, saya melihat apapun hasil Pilkada DKI 2017 nanti hanya akan menimbulkan syak wasangka ketidakprofesionalan kinerja dan kenetralan KPU DKI dari pihak yang kalah. Semoga saja tidak.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.