Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

MK: Tidak Ada UU Terkait LHKPN Dilanggar Hakim Konstitusi

Kompas.com - 04/03/2017, 20:10 WIB
Fachri Fachrudin

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Mahkamah Konstitusi (MK) memastikan tidak ada undang-undang (UU) yang dilanggar oleh hakim Konstitusi terkait Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).

Hal ini disampaikan Juru Bicara MK, Fajar Laksono, menanggapi pernyataan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait adanya lima hakim MK yang belum memperbarui LHKPN.

"Jika ada yang mengatakan Hakim Konstitusi melanggar UU, MK memastikan, tidak ada UU yang dilanggar dalam hal ini," kata Fajar melalui keterangan tertulis, Sabtu (4/3/2017).

Peraturan mengenai LHKPN sedianya diatur dalam Pasal 5 ayat 2 dan ayat 3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (UU 28/1999).

Pasal 5 ayat 2 UU 28/1999 berbunyi, "Setiap Penyelenggara Negara (PN) berkewajiban untuk: (2) bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama, dan setelah menjabat"

Fajar menyampaikan, terhadap ketentuan tersebut ada pemahaman dan pemaknaan berbeda antara KPK dan MK pada frasa "bersedia diperiksa".

Menurut MK frasa "bersedia diperiksa" menunjukkan kebolehan sikap pasif dari penyelenggara negara. Fajar menuturkan, KPK lah yang seharusnya aktif untuk memeriksa LHKPN.

"Penyelenggara negara hanya berkewajiban untuk bersedia ketika akan diperiksa kekayaannya," kata Fajar.

Fajar melanjutkan, adapun pengaturan lebih lanjut dari Pasal 5 angka (2) UU 28/1999 diatur dalam Keputusan KPK tahun 2005.

Dalam keputusan KPK tersebut diatur bahwa LHKPN dilakukan secara periodik setiap dua tahun.

Hal ini sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 ayat 4 dan 5 pada Keputusan KPK tahun 2005. Adapun bunyi Pasal 2 ayat 4 Keputusan KPK tahun 2005, yakni: "(4) Pelaporan kekayaan oleh PN selama menjabat, dilakukan atas permintaan KPK untuk memeriksa kekayaan PN yang bersangkutan sebagai pelaksanaan dari pasal 5 angka 2 Undang-undang Nomor 28 tahun 1999 tentang PN yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme".

Kemudian, Pasal 2 ayat 5 Keputusan KPK tahun 2005, berbunyi: "(5) Pelaporan kekayaan sebagaimana dimaksud ayat 4 dilakukan 2 (dua) tahun setelah PN yang bersangkutan menduduki jabatannya atau sewaktu waktu atas permintaan KPK dalam rangka pemeriksaan kekayaan PN dengan menggunakan formulir LHKPN Model KPK-B".

Oleh karena itu, terkait LHKPN, hakim konstitusi akan melaporkan jika ada permintaan dari pihak KPK.

Namun, jika LHKPN memang harus dilaporkan secara periodik setiap dua tahun, Fajar memastikan, seluruh hakim konstitusi segera menyerahkannya.

"Tidak ada satupun hakim konstitusi yang menolak untuk melaporkan kekayaannya. Kewajiban itu dengan kesadaran sepenuhnya akan dilaksanakan," kata Fajar.

Sementara Pasal 5 ayat 3 UU 28/1999 berbunyi, "Setiap Penyelenggara Negara (PN) berkewajiban untuk (3) melaporkan dan mengumumkan kekayaan sebelum dan setelah menjabat".

Fajar menyampaikan, guna menjalankan ketentuan tersebut, MK memastikan seluruh hakim konstitusi telah menyerahkan LHKPN saat menduduki jabatan hakim konstitusi.

"Artinya, kewajiban untuk melaporkan kekayaannya telah dilaksanakan," kata Fajar.

KPK sebelumnya menyatakan, ada lima hakim MK yang belum memperbarui LHKPN. Juru Bicara KPK, Febri Diansyah mengatakan, LHKPN paling akhir diperbarui pada Maret 2011. Selain itu, pada Mei dan Oktober 2014 dan Februari 2015.

(Baca: KPK: Lima Hakim MK Belum Perbarui Laporan Harta Kekayaan)

Sementara, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD, menganggap lima Hakim Konstitusi melanggar aturan jika tidak melaporkan harta kekayaan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Mahfud mengimbau agar kelima hakim tersebut menaati perintah undang-undang. 

(Baca: Mahfud MD Anggap Lima Hakim MK Langgar Undang-undang Terkait LHKPN)

"Ya itu salah. Kalau hakim MK tidak memberi ke laporan LHKPN itu, itu salah secara undang-undang," ujar Mahfud saat ditemui di Gedung KPK Jakarta, Kamis (2/3/2017).

Kompas TV Komisi Pemberantasan Korupsi memanggil ketua dan anggota hakim Mahkamah Konstitusi untuk diperiksa sebagai saksi, terkait kasus yang menjerat Patrialis Akbar. Pemeriksaan para hakim konstitusi dilakukan untuk mengetahui peran dan posisi hakim konstitusi dalam memutus perkara yudicial review. Untuk pemeriksaan Kamis (16/2) pagi, KPK memanggil Ketua MK Arief Hidayat. Selain Ketua MK, dua hakim lain yang ikut memutus perkara judicial review undang-undang nomor 41 tahun 2014, tentang peternakan dan kesehatan hewan. Judicial review ini jadi alasan suap yang menjerat mantan Hakim Konstitusi Patrialis Akbar.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Waketum Gerindra Nilai Eko Patrio Pantas Jadi Menteri Prabowo-Gibran

Waketum Gerindra Nilai Eko Patrio Pantas Jadi Menteri Prabowo-Gibran

Nasional
MKD Temukan 3 Kasus Pelat Nomor Dinas DPR Palsu, Akan Koordinasi dengan Polri

MKD Temukan 3 Kasus Pelat Nomor Dinas DPR Palsu, Akan Koordinasi dengan Polri

Nasional
Paradoks Sejarah Bengkulu

Paradoks Sejarah Bengkulu

Nasional
Menteri PPN: Hak Milik atas Tanah di IKN Diperbolehkan

Menteri PPN: Hak Milik atas Tanah di IKN Diperbolehkan

Nasional
Menkes: Indonesia Kekurangan 29.000 Dokter Spesialis, Per Tahun Cuma Produksi 2.700

Menkes: Indonesia Kekurangan 29.000 Dokter Spesialis, Per Tahun Cuma Produksi 2.700

Nasional
Kepala Bappenas: Progres Pembangunan IKN Tahap 1 Capai 80,82 Persen

Kepala Bappenas: Progres Pembangunan IKN Tahap 1 Capai 80,82 Persen

Nasional
Hakim MK Cecar KPU RI Soal Ubah Aturan Tenggat Waktu Rekapitulasi Suara Pileg

Hakim MK Cecar KPU RI Soal Ubah Aturan Tenggat Waktu Rekapitulasi Suara Pileg

Nasional
Pakar Hukum: PTUN Bisa Timbulkan Preseden Buruk jika Kabulkan Gugatan PDI-P

Pakar Hukum: PTUN Bisa Timbulkan Preseden Buruk jika Kabulkan Gugatan PDI-P

Nasional
Gerindra: Pak Prabowo Bisa Jadi Presiden Terpilih berkat Doa PKS Sahabat Kami

Gerindra: Pak Prabowo Bisa Jadi Presiden Terpilih berkat Doa PKS Sahabat Kami

Nasional
Pakai Pelat Palsu Anggota DPR, Pemilik Alphard dalam Kasus Brigadir RAT Bakal Dipanggil MKD

Pakai Pelat Palsu Anggota DPR, Pemilik Alphard dalam Kasus Brigadir RAT Bakal Dipanggil MKD

Nasional
Jokowi Soroti Banyak Program Pemerintah Pusat dan Daerah yang Tak Sinkron

Jokowi Soroti Banyak Program Pemerintah Pusat dan Daerah yang Tak Sinkron

Nasional
KPK Tak Hadir, Sidang Gugatan Status Tersangka Gus Muhdlor Ditunda

KPK Tak Hadir, Sidang Gugatan Status Tersangka Gus Muhdlor Ditunda

Nasional
Sebut Prabowo Tak Miliki Hambatan Psikologis Bertemu PKS, Gerindra: Soal Teknis Saja

Sebut Prabowo Tak Miliki Hambatan Psikologis Bertemu PKS, Gerindra: Soal Teknis Saja

Nasional
Saat Jokowi Pura-pura Jadi Wartawan lalu Hindari Sesi 'Doorstop' Media...

Saat Jokowi Pura-pura Jadi Wartawan lalu Hindari Sesi "Doorstop" Media...

Nasional
Dampak UU DKJ, Usia Kendaraan di Jakarta Bakal Dibatasi

Dampak UU DKJ, Usia Kendaraan di Jakarta Bakal Dibatasi

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com