SBY menjelaskan, dalam hukum rimba, maka yang kuat yang menang dan yang lemah yang kalah. Padahal, seharusnya yang benarlah yang seharusnya menang.
“Jadi, kami mohon betul penjelasan Bapak Presiden soal penjelasan ini sehingga tidak terjadi rakyat tidak senang. Kalau sudah diucap di persidangan berarti punya keabsahan sendiri. Itu yang kami sampaikan,” ucap dia.
Masih terkait penyadapan, SBY juga meminta aparat penegak hukum untuk mengusut.
Menurut SBY, penegak hukum mesti bertindak tanpa perlu menunggu adanya laporan terlebih dahulu.
Menanggapi curhat SBY itu, tim pengacara Ahok merasa tidak pernah menyebutkan bahwa bukti yang dimiliki berupa rekaman atau transkrip percakapan. Bisa saja, menurut tim pengacara, bukti itu berupa kesaksian.
"Jadi, jangan mengambil kesimpulan sendiri. Memang kita bilang rekaman? Kan tidak ada. Kenapa dibilang rekaman?" kata Humprey Djemat, pengacara Ahok.
Tim pengacara tidak akan mengungkap wujud bukti yang dimiliki selain di pengadilan nantinya.
Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Johan Budi juga mempertanyakan hal yang sama. Ia malah mengembalikan pertanyaan kepada SBY, apa benar yang bersangkutan disadap?
Adapun Jokowi malah bingung mengapa SBY bertanya kepadanya soal penyadapan. Menurut Jokowi, sebaiknya hal itu ditanya ke Ahok.
"Itu kan isu pengadilan dan yang berbicara itu kan Pak Ahok dan pengacaranya Pak Ahok. Iya kan? Lah kok barangnya digiring ke saya? Kan enggak ada hubungannya," ujar Jokowi.
Alat sadap di sekitar Jokowi
Bicara soal penyadapan, Jokowi juga sempat merasakan hal yang sama. Pada masa awal dirinya menjabat sebagai Gubernur DKI, Jokowi mengaku bahwa alat sadap ditemukan di rumah dinas gubernur di Menteng, Jakarta Pusat.
Bahkan, alat serupa juga ditemukan di kantor di Balai Kota DKI Jakarta.
Alat sadap yang ditemukan itu disebut dapat merekam suara dan gambar.
Di rumah dinas, menurut Jokowi, tiga alat sadap ditemukan setelah adanya pemeriksaan menggunakan alat pendeteksi.